Siang di Pidie Jaya

Sehabis subuh, saya berangkat lagi ke kampung. Ada orang yang saya kenal, belum berjumpa. Ia tinggal di dekat salah satu kampung yang berdampak parah. Makanya pulang hari ini, menelusuri sejumlah kampung termasuk untuk melihat bagaimana …

Sehabis subuh, saya berangkat lagi ke kampung. Ada orang yang saya kenal, belum berjumpa. Ia tinggal di dekat salah satu kampung yang berdampak parah. Makanya pulang hari ini, menelusuri sejumlah kampung termasuk untuk melihat bagaimana realitas penanganan yang dilakukan. Kampung-kampung di Pidie Jaya, yang sebagian tidak jauh dari letak ibukotanya. Saya meminjam motor dengan bawaan seadanya.

Jembatan yang menghubungkan Pidie Jaya dan Bireuen sudah selesai beberapa hari lalu. Saya melewati jembatan ini dan melihat sisi kanan dan kiri jembatan, kini dipenuhi bendera merah putih yang masih baru. Tampak bendera-bendera itu dengan lipatan-lipatan setelah setrika. Mungkin terkait dengan munculnya gerakan bendera putih dalam beberapa hari terakhir.

Saya masuk dari jalur rel –jalan lama yang menghubungkan Trienggading hingga ke Ulim dan Bandar Dua. Jalur ini senantiasa digunakan untuk memangkas jarak. Ketika Pidie Jaya awal mekar, ada usaha menggunakan jalur ini, agar kota lama Meureudu menjadi hidup. Kenyataannya tidak bisa. Pengemudi angkutan umum, tetap memilih jalur yang lebih lebar –jalan utama Banda Aceh-Medan.

Jalur rel ini menjadi urat nadi ketika jembatan di Simpang Empat Meureuduk ambruk. Jembatan yang sudah selesai dibuat dan sisi kanan-kirinya sudah ada bendera merah putih. Jembatan yang dibawahnya berserak kayu gelondongan, ketika saya lewat tadi, sedang dipindahkan dari sisi samping sungai. Di samping jembatan pula, ada lokasi pengungsian. Jalan utama dari meunasah ini, sudah tidak terlihat. Rumah di kanan dan kiri sudah terbenam setengahnya –dalam lumpur yang terasa seperti pasir.

Sesampai di pasar Meureudu, saya masuk ke kampung sebelah kanan. Di sana ada beberapa kampung, dengan kondisi yang hampir sama. Sepanjang jalan, kanan dan kirinya sudah penuh dengan kayu-kayu yang sekedar dipindahkan begutu saja supaya jalan bisa dilalui. Lalu dengan kondisi jalan yang masih becek, dan sebagian masih tergenang air. Orang-orang yang berkunjung –entah mereka yang datang untuk memberi bantuan atau para famili yang mencari keluarganya—akan selalu melewati jalan yang penuh genangan air itu. Di tiga kampung inilah, rumahnya terbenam dalam lumpur. Tak tanggung-tanggung. Rata-rata setengah rumah sudah terbenam.

Tadi, masih terlihat sejumlah kendaraan yang bekas digali karena tertanam. Ada mobil, apalagi kendaraan roda dua. Sejumlah kendaraan dibiarkan begitu saja hingga rusak disapu lumpur. Sepertinya belum ada daya untuk dipegang. Becak motor, dari rakitan jenis Honda win, saya lihat malah masih penuh dengan sampah banjir. Pemiliknya, mungkin tidak ambil pusing, karena memikirkan rumahnya yang belum terselesaikan.

Saya ingin katakan, kampung yang terletak di pinggir ibukota pemerintahan saja masih seperti itu, yang letaknya dekat kota, konon lagi jika ada kampung yang total rusak dan tidak tersentuh. Mari kita mohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa kita karena membiarkan atau ketidakmampuan menangani hal ini.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment