Ada satu tawaran strategis penting harus dilaksanakan pemerintah kolonial, berdasarkan Snouck, yakni memerangi habis para pengajar ilmu agama, pada saat yang sama, membesarkan golongan lain dalam masyarakat. Dalam bahasan Aceh, ini persis seperti politik plah trieng [https://kupiluho.wordpress.com/?s=belah+bamboo]. Politik semacam ini, menaikkan setinggi langit satu sisi, dan membenamkan dalam lumpur dalam di sisi lainnya.
Dalam konteks Aceh, ternyata langkah ini juga tidak ampuh, yang membuat perlawanan semakin menjadi. Korban semakin banyak berjatuhan, sehingga pada akhir kisah, Snouck sendiri turut merehab usulannya, bahwa pendekatan formal dibutuhkan, memerangi di belakang layar juga harus terus dilakukan.
Dalam bahasa sekarang, ada proyek dua kaki. Maka seorang bekas tentara,Paul van’t Veer yang merasa sesuatu yang aneh di Aceh. Ia lalu membuat kesimpulannya sendiri. Katanya kisah kegagalan perang Aceh, turut terjadi berkat kontribusi Snouck. Ia menulis itu dalam bukunya “Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje” (Grafiti Press, 1985), yang diterjemahkan dari buku asli berjudul “De Atjeh-Ooorlog” (1979).
Katanya, tidak pernah Belanda melakukan perang yang lebih besar daripada perang di Aceh. Dalam hal lama masa berlangsungnya, perang ini dapat dibandingkan dengan perang delapan puluh tahun. Dalam hal jumlah orang yang tewas (lebih dari seratus ribu jiwa) perang ini sebagai peristiwa militer yang tiada bandingnya bagi negeri kita. Ia berkesimpulan, perang Aceh bagi Negeri Belanda bukan sekadar pertikaian bersenjata. Dia merupakan fokus suatu politik nasional, kolonial, dan internasional selama satu abad; dia menandai suatu babakan waktu: peralihan dari tempo doeloe abad ke-19 di Hindia dan Negeri Belanda ke riam masa kita.
Menurutnya, sejak 1873, Perang Aceh diiringi oleh dua pertanyaan yang tidak terjawab. Pertanyaan yang satu militer sifatnya. Apakah perang ini dilakukan dengan cara yang tepat? Strategi militer, taktik, dan kepahlawanan dipersoalkan di sini; bukan saja itu, tetapi juga provokasi, teror, dan kekejaman. Pertanyaan lain yang tidak terjawab sifatnya susila dan politik. Apakah perang ini dapat dibenarkan? Perdebatan ini pun memakan waktu tiga perempat abad — dan belum selesai.
Banyak bekas tentara Belanda yang kemudian menulis kekonyolan mereka. Termasuk kekonyolan dari para pembisik dan pengkaji masalah di sekelilingnya. Dan setelah seabad kemudian, ketika Aceh sudah berada “di atas angin”, ternyata masalah masih sama. Makanya ketika membaca Snouck dan kisah-kisahnya, persis seperti membaca realitas kekinian. Tentu, dengan tampilan dan harga yang berbeda.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.