Saya menggunakan istilah “pemuliaan” dalam konteks bagaimana optik pemeliharaan lingkungan harus dilakukan. Namun demikian, kata ini secara formal sudah muncul sejak lama. Ada satu lembaga otonom di bawah organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bernama Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI atau LPLH & SDA MUI. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Musyawarah Nasional VIII MUI pada tanggal 26-28 Juli 2010. Lembaga ini sendiri kemudian berfungsi secara resmi sejak 23 September 2010 melalui Surat Keputusan Dewan Pimpinan MUI Nomor: Kep-485/MUI/IX/2010. Tujuan khusus lembaga ini adalah untuk meningkatkan kesadaran umat muslim sebagai potensi terbesar yang dimiliki bangsa atas pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang sesuai dengan ajaran Islam.
Istilah “pemuliaan” ingin lebih diperjelas sesungguhnya merujuk pada ragam Tindakan: menjaga, memelihara, dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup –serta sumber daya alam—yang kerap kali dimanfaatkan secara semena-mena. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan “pemuliaan” dengan makna “perihal membuat (menjadikan) sesuatu hal yang lebih bermutu atau lebih unggul”.
Dengan demikian, segala upaya yang dilakukan dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan sumber daya alam, bisa masuk dalam makna pemuliaan lingkungan. Termasuk di dalamnya bagaimana mengurangi pemanfaatan sumber daya alam yang berdampak buruk pada lingkungan hidup.
Selain itu, prinsip atau asas keberlanjutan akhir-akhir menjadi daya pikat tersendiri dan tercantum dalam semua peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup dan sumber daya alam. Penempatan ini dalam rangka menegaskan keberpihakan terhadap lingkungan hidup. Tentu saja harus disadari bahwa keberpihakan itu sendiri tidak terlepas dari bagaimana seseorang mengonsepsi lingkungan dan tujuannya. Penting mendudukan konsep lingkungan yang bisa membawa kepada kelestarian dan keberlanjutan.
Dari segi perkembangan pemikiran tentang lingkungan yang penting untuk diluruskan adalah pada anggapan seolah-olah lingkungan hanya alat pemuas tanpa batas bagi manusia. Atas nama kepentingan manusia, seolah semua sumber daya alam bisa dikeruk dan tidak perlu peduli terhadap kelestarian dan keberlanjutannya. Dalam alam pikir, posisi yang disebut antroponsentrisme –kelak pandangan semacam ini ditolak karena tidak menganggapnya sebagai pemicu pemanfaatan sumber daya alam secara semena-mena.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.