Secara khusus, dalam salah satu catatan, saya sebutkan betapa minimnya diskusi ilmiah terkait dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Malah ketika disebutkan undang-undang sudah penting diubah, entah modal politik apa yang masih dimiliki oleh para elite.
Saya kira hal ini patut menjadi perhatian semua pihak. Sesudah tahun 2021, setahun kemudian ada tim yang bergerak. Tahun 2022. Entah bagaimana pun kabar dari hasil kerja tim ini. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Pemerintah Aceh, sama-sama pernah membentuk tim. Bahkan awal tahun 2023, semangat tampak tinggi. Akhir tahun 2023, pembicaraan tentang pentingnya persiapan, hampir tidak terdengar.
Mudah-mudahan ada pihak yang mengingatkan DPRA dan Pemerintah Aceh bahwa proses perubahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh tidak simsalabim. Ada sejumlah tahapan yang harus dilalui, terutama dalam berbagai proses politiknya.
Punca isu ini, sesungguhnya dari Pasa 183 Undang-Undang Pemerintahan Aceh, yang antara lain menyebutkan: Pertama, Dana Otonomi Khusus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pem-bangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan eko-nomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendi-dikan, sosial, dan kesehatan. Kedua, Dana Otonomi Khusus berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke-15 yang besarnya setara dengan 2% plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun ke-16 sampai dengan tahun 20 yang besarnya setara dengan 1% plafon Dana Alokasi Umum Nasional.
Pertanyaannya apakah para elite memahami keadaan ini? Rasanya tidak mungkin tidak memahami. Lalu, mengapa belum bergerak menghadapi tahun 2027 yang akan berakhir? Jika mengikuti logika proses, seharusnya tahun 2024 ini sudah ber-gerak total. Tahun 2025, harus sudah ada posisi kongkret posisi dalam program legislasi nasional. Paling lambat, akhir 2026, idealnya sudah tuntas agar kebutuhan 2028 bisa ditentukan dengan baik.
Saya tidak yakin para pihak tidak memahami keadaan ini. Lalu ada apa, sepertinya sekarang dalam keadaan biasa-biasa saja? Apakah ada kelemahan pihak Aceh dalam bernegosiasi dengan pihak pembentuk undang-undang? Entahlah. Jelasnya, semuanya harus dipikirkan dengan baik.
Semua catatan yang saya sampaikan di atas, hendaknya menjadi alasan bagi kita untuk memberi perhatian dalam rangka mempersiapkan proses perubahan undang-undang ini secara lebih serius.