GEUTAH boh panaih sudah meuligan, meusiliek di mana-mana. Setelah khanduri di gampong, mukim sudah bertebar geutah boh panaih. Dasar orang gampong, katanya tak enak bila tak ada boh panaih dalam gulai khanduri.
Khanduri di gampong, sie manok pun sudah dicampur boh panaih. Tidak ada lagi reubong kala yang dibawa pulang orang gampong dari lhok beulandeh.
Itu baru sie manok. Apalagi sekarang, orang gampong, kalau melaksanakan khanduri sudah jarang menyuguhkan sie manok. Orang sudah berlomba-lomba untuk menyuguhkan sie kameng atau sie leumo. Khanduri untuk peutren aneuk saja sudah dengan sie leumo.
Sudah jarang orang mau melakukan sesuatu dengan cara yang sederhana. Mengundang beberapa orang saja, lalu melakukan peutren aneuk dengan doa. Tapi sekarang, peutren aneuk dilaksanakan sebagai pesta besar. Hampir menyerupai pesta-pesta besar menikahkan anak-anak mereka.
Masalahnya bukan pada khanduri. Tapi pada maksud dari khanduri. Ada perbedaan yang sangat dari dulu, di mana orang-orang gampong melakukan khanduri sebagai wujud ucap syukur kepada Pencipta. Siapa saja yang melintas, diundangnya masuk dan makan khanduri.
Sekarang, khanduri harus dengan undangan yang mewah. Malah di undangan kerap tertera, “jangan lupa, bawa undangan”. Hajatan-hajatan besar, tak ada lagi yang menarik tangan orang-orang yang lewat di jalan depan rumah untuk masuk ke rumah dan merasakan khanduri.
Beberapa kali, di Gampong Baroh, melakukan khanduri besar-besaran. Namanya khanduri raya. Tapi tak semua orang bisa ikut makan khanduri karena banyak orang tak dapat undangan. Undangan menjadi penanda bahwa seseorang boleh datang atau tidak.
Di Gampong Baroh, orang-orang yang tak mendapat selembar undangan tak mungkin lagi mau datang menghadiri khanduri. Mereka tak mau keciprat geutah boh panaih. Tak seperti dulu, walau tidak sempat makan, orang-orang rela meuligan geutah boh panaih asal mendapat pahala dari Pencipta.
Para pekerja yang mencingcang boh panaih pun sudah sangat mafhun cara membersihkan geutah yang melekat di tangan dan pakaian mereka. Kalau geutah itu sangat kental, mereka akan menggunakan minyeuk u. Itu sangat cepat terbersihkan.
Sekarang untuk mendapatkan minyeuk u juga susahnya bukan main. Boh panaih yang dijumpai di pasar, sekarang ini, juga beda dengan boh panaih yang dulu. Sekarang sudah sedikit sulit dibersihkan karena boh panaih sudah banyak yang taiwan –boh panaih yang bibitnya diperoleh lewat hasil cangkok.
Jadi minyeuk u sudah susah. Walaupun begitu, orang-orang yang melaksanakan khanduri dengan sie yang ada boh panaih-nya makin banyak. Padahal mereka tahu geutah-nya akan sulit dibersihkan.
Dalam khanduri raya yang dilaksanakan di Gampong Baroh, boh panaih yang dibeli sampai dua truk. “Biar orang-orang yang datang ke khanduri ini puas makan boh panaih,” kata keusyik, waktu itu.
Para pekerja yang tukang puliek boh panaih berjumlah 11 orang sengaja didatangkan secara khusus. Mereka digaji dengan nilai lembur. Lokasi puliek, berada di belakang meunasah sampai ke krueng (sungai) pinggir gampong.
Sejak pukul 03.00 pagi, para pekerja itu sudah mulai melakukan tugasnya. Mulai dari sek sampai cang-cang. Sebagian duduk di pinggir sungai. Sebagian lagi di belakang meunasah.
Dua jam kemudian, mereka mampu menyelesaikan tugasnya. Tapi kulet boh panaih bercecer di mana-mana, tentu bersama geutah-nya. Bayangkan di belakang meunasah, ceceran kulet boh panaih sampai memperlihatkan kumpulan-kumpulan lendir. Meulinde.
Orang-orang yang sering ke meunasah, hari itu sengaja tak datang karena sebagian mereka tak mendapat selembar undangan. Mereka tak sempat melihat peninggalan para pekerja di belakang meunasah dan di bineh krueng. Mereka yang tak mendapat selembar undangan itu baru ke meunasah saat sore hari.
Betapa mereka terkejut saat sandal mereka tertempel geutah boh panaih yang meulinde di belakang meunasah sampai ke bineh krueng. Sarung yang mereka pakai untuk sembahyang magrib, meuligan geutah. Dan tak mungkin dibersihkan dengan air.
Keusyik, kalau terlalu capek, tak lagi sembahyang magrib di meunasah. Sesampai di rumah ia sudah pulas karena menjamu tamu yang banyak datang bukanlah perkara mudah. Keusyik tak sempat melihat ke belakang meunasah sampai ke bineh krueng. “Kita akan dapat pahala bila bisa memuaskan kebutuhan selera banyak orang,” begitu keusyik berargumen, saat rapat yang memutuskan sie leumo diramaikan dengan boh panaih.
Khanduri itu sudah menuntaskan selera orang-orang yang datang dengan selembar undangan, untuk mencicipi khanduri sie leumo dengan gulee boh panaih. Keusyik sangat puas sekali, walau ia harus mengorbankan sembahyang magrib.
Sore itu, ternyata bukan hanya keusyik yang harus mengorbankan sembahyang magribnya. Orang-orang yang mau ke meunasah pun sudah meuligan geutah boh panaih di mana-mana.
Bayangkan, orang-orang yang akan sembahyang di meunasah mengambil wudhu’ di krueng, sementara di bineh krueng, ceceran hasil kerja lembur yang meucang boh panaih berserak seperti leunde di mana-mana.
Banyak orang gampong harus menunda sembahyangnya. Kalau pun mereka sembahyang, tak ada artinya karena wudhu’ mereka tak sampai ke tubuh karena di tubuh mereka terempel geutah boh panaih.
Gaduh gampong dengan orang yang lalu lalang mencari minyeuk u. Untuk melunturkan geutah yang menempel. Tapi minyeuk u sudah asing di Gampong Baroh. Keusyik tak mendengar kegaduhan itu karena ia sudah pulas setelah berhasil menuntaskan selera banyak orang yang menginginkan sie leumo dengan gulee boh panaih.
Yang melarat itu orang gampong, yang tak sempat mencicipi gulee boh panaih, tapi mereka harus gaduh mencari minyeuk u untuk membersihkan geutah yang menempel di sarung dan tubuh mereka.
Di Gampong Baroh, sore itu, hampir tak ada orang yang ke meunasah yang tak kena geutah. Padahal mereka tak merasakannya. Sementara geutah sudah meulinde di gampong.
Orang-orang gampong sampai tak tahu menyalahkan siapa, perihal hajatan yang membuat mereka semua keunong geutah. Paling mereka akan bilang, pancuri pangeh keuh!