Seorang teman saya, akademisi tulen, selalu berbicara tentang alat ukur apa yang disebut dengan akademisi itu. Tidak semua akademisi, dalam makna profesi, kemudian nyatanya lahir dan batin akan berlaku sebagai akademisi. Tidak selalu. Ada akademisi, yang perilakunya tidak mencerminkannya sebagai akademisi. Soal siapa akademisi, sejumlah kolom sebelumnya sudah saja uraikan. Akademisi itu, terutama terkait dengan posisinya sebagai orang yang berpendidikan tinggi. Berpendidikan atau tidak, seharusnya akan mencerminkan pada perilakunya. Orang yang berpendidikan tinggi, seharusnya dalam realitas, perilakunya memperlihatnya sebagai orang berpendidikan tinggi. Sayangnya tidak semua orang mampu demikian. Seorang teman saya, dengan konsisten mengingatkan kami tentang itu.
Ada indikator tertentu untuk bisa disebut seseorang itu sebagai akademisi atau tidak. Itulah yang diingatkan teman saya itu. Sangat konsisten. Antara lain, mau berpikir dengan keilmuan atau tidak. Bagi teman saya itu, jika seseorang mengklaim dirinya sebagai akademisi, maka ia harus konsisten dengan cara berpikir keilmuan. Secara ilmu pengetahuan. Apapun yang dilakukan, selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan itu. Jadi kalau ada akademisi tapi ia tidak menggunakan ilmu pengetahuan sebagai cara hidupnya, maka dianggap ia pada dasarnya bukan akademisi. Cara-cara keilmuan itu yang membuat seseorang bisa disebut sebagai akademisi atau tidak.
Dalam ruang yang lebih lebar, harusnya akademisi pun tidak berhenti pada cara berilmu pengetahuan. Seorang akademisi akan memperluas cara ilmu pengetahuan itu kepada orang lainnya. Mulai dari orang-orang sekelilingnya. Jika seseorang atau sekelompok orang yang hidup dengan tahayul, maka orang-orang yang berilmu pengetahuan akan memberikan pencerahan bahwa hal itu tidak benar. Seluas mungkin, mereka akan berusaha untuk hidup dengan cara-cara yang berbasis pada ilmu pengetahuan. Itulah yang disebut sebagai habitus.
Konteks habitus itu, jika merujuk pada kamus, dapat didefinisikan sebagai “kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu yang diperoleh dengan pengulangan Tindakan yang sama sampai menjadi kebiasaan”. Seseorang yang hidup dengan alat ukur keilmuan, lalu membiasakan diri semakin luas kepada orang-orang atau masyarakatnya. Apa yang menjadi cara hidupnya, kemudian menjadi cara hidup orang-orang yang di sekelilingnya. Semakin luas, maka habitus itu akan semakin nyata.
Hal inilah yang diingatkan oleh teman yang saya sentuh di awal, tidak ada jaminan seorang akademisi akan membuat habitus ini. Bahkan tidak ada jaminan akademisi justru akan melakukan hal-hal secara ilmu pengetahuan bahkan untuk dirinya sendiri –apalagi untuk orang lain. Seorang akademisi, butuh perjuangan tersendiri agar ia bisa hidup dengan alat ukur ilmu pengetahuan. Lebih luas, butuh perjuangan lebih besat untuk menjadikan mereka berada dalam satu habitus. Jadi teman saya yang mengingatkan itu, sesuatu yang nyata.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.