Keluhan itu selalu ada dalam setiap usia. Besar atau kecilnya ditentukan oleh bagaimana seseorang memahami kehidupan yang dijalaninya. Ada orang yang belajar menerima apa adanya. Tidak jarang, banyak orang justru tidak bisa dan tidak mampu menemukan hikmah apa yang selalu mengiringi kesehariannya.
Maka tidak salah, bahwa hidup adalah ruang belajar yang sangat nyata. Semua yang kita dapat, bukan saja akan terlewat berbagai pelajaran di dalamnya jika tidak diambil hikmah, melainkan juga menjadikan kita semakin tidak tahu tujuan hakiki dari apapun yang kita alami.
Dari proses pelajar yang memungkinkan seseorang memahami hidup dan kehidupan. Barangkali kita pernah memiliki pengalaman mengenai bagaimana orang-orang yang selalu mengungkapkan kesulitan dalam hidupnya. Berbagai cobaan dan kesukaran dalam hidup ada yang dihadapi silih berganti. Dari satu hal ke hal yang lain. Ada yang mulai dari yang berat ke yang ringan. Ada yang dari ringan ke yang berat. Tak putus dirundung malang, begitu kira-kira jika ingin diistilahkan.
Ada orang yang memang benar-benar susah. Bangun pagi mereka harus berpikir bagaimana mereka akan makan dan menjalani kehidupannya. Golongan ini juga terbagi dua. Ada di antara mereka yang gemar mengeluh. Ada pula yang menerima apa adanya dan mereka menikmati apa yang ada dengan sempurna. Mereka yang gemar mengeluh, tidak paham bahwa setiap hari orang mengetahui kondisi hidup yang sedang dijalani, yang seharusnya tidak perlu dikeluhkan.
Di samping itu, ada juga orang yang pura-pura susah. Yang saya sebut ini, setiap kita bertemu dengan tipe begini, selalu saja dengan tiada henti mengeluh tentang kesusahannya. Bahkan tanpa kita tanya pun, mereka akan mengeluh. Seolah-olah hanya orang-orang demikian saja yang pernah mengalami kesulitan dan cobaan hidup tiada henti. Sedang orang lain tidak mengalami kesusahan. Orang yang begini juga terbagi berbagai macam. Ada yang begitu berharap ada sesuatu dari keluhannya. Sementara yang lain, bisa jadi sebagai alat, misalnya agar orang lain tidak mengeluh hal serupa.
Bisa saja ada orang yang nyaman dengan mengungkapkan kesusahannya. Berbagai kesulitan hidup, semakin diungkap, mereka seperti merasa puas. Tidak peduli apakah yang mendengar itu nyaman atau tidak. Pada dasarnya ketika mengungkapkannya kepada orang lain, ada rasa tertentu yang akan dinikmati oleh mereka.
Berbagai tipe demikian, masing-masing menjadi cermin bagaimana mereka menjalani kehidupan ini. Jika ditilik lebih jauh, sesungguhnya ada konteks uji naik kelas yang tidak boleh dilupa dari setiap persoalan hidup yang dialami oleh setiap manusia. Orang-orang yang berhasil melewati berbagai ujian tersebut dalam hidupnya, selalu akan berada satu tingkat lebih tinggi di atas rata-rata. Sementara orang-orang yang pura-pura mengalami berbagai cobaan, tidak akan melewati uji tingkat ini. Berbagai fase naik tingkat itu akan terlewatkan begitu saja, mereka tetap berada pada titik yang sama dalam hidupnya. Hidup mereka, sulit untuk berubah ke arah yang lebih baik, selain setiap waktu hanya mengeluh dalam hidup. Tidak lebih.
Dengan kondisi begini, kita harus tangguh menjalani setiap persoalan hidup. Sekiranya persoalan dalam hidup menjadi ladang ujian naik tingkat, maka setiap selesai masalah, akan berimplikasi kepada kondisi kita yang semakin berbahagia. Apalagi dalam al-Quran, ada dua hal yang tegas disebut terkait dengan cobaan hidup manusia. Pertama, apapun cobaan kepada kita, selalu diukur dengan kemampuan kita menerimanya. Tidak diuji melewati batas kemampuan manusia menerimanya. Kedua, setelah ada kesulitan akan muncul kemudahan. Orang yang melewati kesulitan, akan terbuka banyak ruang untuk merasakan kemudahan dalam hidupnya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.