Delapan tahun yang lalu, seorang akademisi Universitas Hasanuddin mengingatkan kita tentang akademisi yang berada di menara gading (ivory tower). Alwy Rachman, akademisi itu, menulis kolom Tempo, “Akademikus di Menara Gading”. Posisi akademisi yang semacam ini, selalu ada sepanjang era. Tidak hanya masa lalu. Mereka yang bertipe ini, juga ada era sekarang. Bahkan, mungkin akan ada pada masa mendatang. Saya ingat betul ucapan seorang guru saya, seorang sejarawan lulusan Leiden, Dr. M. Gade Ismail, bahwa akademisi belum tentu sebagai akademikus. Istilah ini, memang orang-orang yang berpendidikan tinggi. Namun, kata ini juga merujuk pada posisi intelektual, yang belum tentu dimiliki oleh semua akademisi.
Perbedaan itulah yang menyebabkan kedua istilah ini terasa. Jika ditambah dengan intelektual, ia tidak saja berhenti pada adanya gelar. Seberapa pun seseorang mampu mendapatkan gelar sebagai tanda ia selesaikan pendidikan pada tingkat tertentu, belum tentu serta merta ia tergolong dalam golongan intelektual. Posisi ini menuntut pikiran jernih berdasarkan cara berpikir ilmu pengetahuan. Dengan demikian, ada keberpihakan terhadap kebenaran. Selalu berangkat dari kejujuran. Prinsip ini yang selalu harus ada dalam diri kita. Orang memungkinkan salah, tapi selalu dalam jujur.
Semua hal di atas, tidak mungkin dibebaskan dari apa yang didiskursuskan dalam makna menara gading. Seorang akademisi tidak berdiri di satu tempat, lalu melihat segala sesuatu dari jauh terhadap segala sesuatu. Tidak mungkin menyelesaikan sesuatu tanpa memahaminya dengan baik yang hanya memungkinkan didapatkan dari proses yang membumi.
Istilah menara gading, jika merujuk pada Kamus Bahasa Indonesia, tersedia dalam tiga istilah: (1) menara; (2) gading; dan (3) menara gading. Menara diartikan sebagai: “(1) bangunan yang tinggi (seperti di masjid, gereja); bagian bangunan yang dibuat jauh lebih tinggi daripada bangunan induknya; (2) bangunan tinggi untuk mengawasi daerah sekitar atau menjadikan petunjuk bagi kapal dan sebagainya yang sedang berlayar.”
Kada gading sendiri diartikan dalam empat makna. Makna pertama sebagai: “(1) taring panjang dan tajam pada binatang (gajah, walrus) yang berguna untuk menggali atau sebagai senjata; (2) tulang keras putih dan bersih dari gading; (3) putih kekuning-kuningan seperti gading.” Makna kedua, “dua orang anak perempuan yang mengipasi pengantin di pelaminan”. Makna ketiga, “biji kemiri yang sudah tertanam atau tertimbun lama dan tempurungnya sudah memutih.” Makna keempat, “(1) bagian dalam perahu yang berupa sekat-sekat untuk menempelkan papan agar perahu menjadi kuat; (2) penampang badan perahu secara keseluruhan.”
Tapi kamus menyediakan makna bagi “menara gading”, yang diartikan sebagai: (1) tempat atau kedudukan yang serba mulia, enak, dan menyenangkan; (2) tempat untuk menyendiri, misalnya tempat studi, yang memberi kesempatan untuk bersikap bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya.”
Dari makna terakhir inilah, kita tahu bagaimana keseyogiaan seorang akademisi berperan dalam ruang-ruang sosial. Mereka harus membumi.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.