Pernahkah Anda melihat seorang yang tertusuk ujung duri, mungkin duri dari ujung mawar yang tersembunyi di balik bentuk bunganya? Atau mungkin ujung duri ikan panggang yang enak? Sekecil apapun, duri akan mengirim rasa sakit ke sekujur tubuh. Bahkan untuk ujung duri yang tidak dicabut –tertinggal di dalam daging—akan menghasilkan rasa sakit lain akibat infeksi yang ditimbulkan.
Sebaliknya, pernahkah Anda merasakan suatu waktu, pikiran sedang tidak enak, berakibat kepada vitalitas tubuh, lalu tidak mampu kemana-mana? Anda akan memiliki diam saja di rumah, dan tidak melakukan apapun? Gambaran pikiran yang enak juga memberi sesuatu bagi penguatan semangat.
Saya bukan dokter. Namun keterkaitan semacam ini, bisa diketahui oleh siapa saja. Karena saya bukan dokter, maka saya tidak memiliki ilmu untuk berbicara terapi medis. Keterkaitan semacam ini akan dialami oleh orang-orang ketika tidak melakukan pengelolaan terhadap raga dan jiwanya.
Sama seperti jiwa, saya raga juga butuh pengelolaan. Orang yang tidak bergerak, pada akhirnya akan menghinggap berbagai keluhan –mulai dari biasa hingga yang serius dan fatal. Jika ada waktu, mari kita belajar kehidupan dengan duduk di depan unit gawat darurat rumah sakit, maka kita akan melihat berbagai penyakit yang dialami manusia. Ada orang yang secara fisik terlihat parah, namun parasnya biasa saja. Namun tidak sedikit, yang menurut kita seseorang menderita penyakit biasa saja, jika dilihat parasnya, seolah sedang merasakan penderitaan tiada tara.
Saya ingin bercerita sebuah pengalaman. Setelah sekian lama, saya kembali merasakan menginap di sini, dengan cobaan yang berbeda. Mendatangi petugas kesehatan, disambut dengan hangat. Begitu sampai di pintu dengan pandangan mencari-cari ke berbagai penjuru, tiba-tiba muncul seseorang yang menanyakan sedang ada perlu apa, mau kemana, apa yang bisa dibantu. Lalu diarahkan ke meja mana perlu menghadap, kepada siapa akan menyampaikan keperluan. Lalu dari situ, diberikan secarik kertas berisi catatan, yang akan dibawa ke meja pemeriksaan khusus. Padahal kondisi juga sedang antre. Orang menunggu tidak begitu lama karena ada yang mengarahkan prosesnya.
Begitulah, suatu pagi saya dan istri. Datang, ternyata mendapatkan kenyataan ada gangguan kesehatan. Di dalam kamar, melihat bagaimana perawat saling bergantian. Mulai dari meja paling depan sudah jelas penanggungjawabnya. Tidak berapa lama datang petugas kebersihan, yang memberitahu tanggung jawab dan tombol apa yang bisa ditekan untuk memanggilnya. Sehabis itu ada petugas yang mengantar makanan, memberikan kode tertentu yang bisa dihubungi bila ada sesuatu yang kurang memuaskan. Terakhir, datang mereka yang memberi nasihat hati.
Orang sakit, sebagaimana sejak dari dulu, Imam Ghazali memperkenalkan bahwa manusia tidak hanya soal raga saja, melainkan juga jiwa. Jadi mengobati orang sakit, kurang tepat bila hanya menyelesaikan persoalan fisik, dan melupakan persoalan psikis. Keduanya saling terkait. Orang meminum obat, ketika tidak merasakan sesuatu yang akan bermanfaat dari obatnya, maka akan sia-sia.
Maka ketika datang ke rumah sakit ini mengantar istri pada suatu pagi, kami disambut dengan ungkapan mencolok: ingat bapak/ibu, hanya Allah yang menyembuhkan, bukan yang lain. Obat dan apapun hanya sarana, dengan tidak boleh melupakan Allah yang memiliki kuasa segalanya.
Setiap tiga jam ada petugas yang berganti. Mereka yang akan menuju ke ruang lain, terlebih dahulu masuk ke tiap-tiap ruangan, mengabarkan kepada setiap pasien bahwa mereka akan ke ruang lain lagi, dan akan menggantikannya adalah si fulan. Ia juga mengingatkan kepada keluarga pasien, bahwa bila ada yang salah dalam pelayanannya, ia memohon dimaafkan, dan yang lebih penting, sekiranya ada tindakannya yang kurang tepat, dengan jelas bisa diminta pertanggungjawaban. Saya merasakan itu sebagai jiwa-jiwa yang bertangung jawab sepenuhnya, yang menekuni pekerjaan ini dengan sepenuh hati.
Jarang sekali mendapatkan pelayanan yang sesejuk ini. Di daerah yang sama sekali tidak menyebut-nyebut ada pelaksanaan syariat dalam program pembangunan mereka. Betapa berharganya raga dan jiwa orang ketika masuk ke tempat ini. Mereka berupaya untuk menghadapi dengan raga dan jiwanya, seperti apa yang dialami orang yang butuh penanganan.
Sekiranya kita fokus pada raga, maka jiwa akan mengenang sesuatu yang tidak baik dalam waktu yang lama. Sesuatu yang terekam susah untuk terlupa, kecuali bagi mereka yang memiliki kekuatan. Maka mengobati haruslah dua-duanya, bukan salah satunya. Mengobati raga dengan segenap penyakitnya, juga mengobati jiwa dengan segenap penyakitnya.