Rektor Universitas Islam Negeri Ar-Raniry (UIN Ar-Raniry), Prof. Dr. Mujiburrahman, M.A., dengan setengah berkelakar meminta Doktor Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA) untuk menjual motor kepadanya. Saat kami, bersama sejumlah orang sedang menunggu jadwal rektor memberi sambutan sekaligus materi acara Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Aceh. Persis di depan ruang teater Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M).
Tentu, kelakar itu tidak serius. Saya memahami ketika rektor bercanda semacam itu, ada hal lain yang ingin diungkapkan. Saya menangkap keinginan rektor, termasuk mempercayakan jabatan dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) kepada KBA, agar ia tidak lagi touring kemana-mana. Ia terkenal dengan raja touring di Aceh. Tapi saya bisa memahami kepentingan touring dan kemampuannya dalam memanfaatkan kegiatannya. Dengan touring, ia mengunjungi banyak tempat, banyak orang, yang sekaligus sebagai inspirasi untuk buku-bukunya. Ia sangat produktif yang melebihi kemauan dan kemampuan orang rata-rata dalam menulis.
Dulu, saya pernah menulis catatan untuk bukunya, dengan judul “Belajar Strategi Menulis dari Prof. KBA”. Saya kira tidak mudah mendapatkan orang yang memiliki kemampuan semacam ini. Memadukan antara kemampuan bahan dengan kemampuan menulis. Antara isi otak dan kemampuan mengolahnya menjadi bahan otak orang lain. Kemampuan KBA ini yang saya belajar banyak.
Terkait dengan misi akademik, KBA dan istri sudah dua kali melakukan touring penting. Pertama, saat ia membeli kendaraannya Kawasaki dari Bali. Saat itu, ia membutuhkan waktu 14 hari. Kedua, saat ia melakukan touring harmoni Indonesia hingga ke Papua, dengan menggunakan motor yang sama dan waktu yang dibutuhkan lebih lama. Istrinya, Fitri Jufridar, juga seorang akademisi. Seperti memiliki semangat yang sama, dengan irama yang selaras. Saat berangkat, semangat membaja tampak terasa.
Tak semata soal touring. Saat ia menggabungkan kegiatan touring dengan berbagai kepentingan akademik lain, yang sungguh tidak mampu dilakukan semua orang. Dan kondisi ini, saya kira juga dipahami oleh kolega dan pimpinannya di UIN Ar-Raniry. Tapi kelakar rektor pada pertemuan di pagi itu, saya anggap juga sebagai catatan agar KBA harus mengawal rumah akademiknya di Darussalam.
Karena kemampuan menulisnya di atas rata-rata, sebenarnya saya ingin KBA membei perhatian khusus untuk hal ini. Pengalaman dan kemampuannya harus dibagi, walau orang yang berkepentingan untuk soal ini juga tidak banyak. Pengalaman saya selama ini, orang hanya butuh publikasi ketika dihadapkan dengan kepentingan praktis di hadapannya. Saat evaluasi kinerja dosen, misalnya, baru para kolega kita sibuk mencari file yang pernah ditulisnya.
Saya mendapatkan kata terbaik untuk soal publikasi, dari seorang guru saya, Mawardi Ismail. Mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Menurutnya, karya dan publikasi idealnya dilakukan atas dasar kepentingan yang lebih hakiki dari seorang akademisi. Saya mendapat keadaan ini antara lain dari Prof. KBA.
Mohon maaf, dari awal kenal dengan KBA, saya sudah menyebutnya dengan Prof. KBA. Bukan dalam konteks formal. Ia awak Krueng Mane. Dalam kaca mata saya, ia bukan orang biasa. Jiwa intelektualnya sudah terbangun begitu rupa sejak di Yogyakarta. Kota ini bagi saya memiliki kelebihan dari sisi suasana akademis. Perkembangan yang ia alami, jauh lebih dahsyat dari apa yang saya alami. Ia sudah membaca ribuan buku saat masih sarjana, sedangkan saja, sudah selesai doktor, bisa jadi belum mencapai kadar itu.
Permohonan maaf saya karena penyebutan panggilan profesor yang saya maksud bukan dalam makna formal. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan profesor sebagai pangkat dosen tertinggi di perguruan tinggi; guru besar; mahaguru. Di Indonesia, guru besar ini sebagai jabatan fungsional, yang diberikan secara khusus oleh pemegang kebijakan bidang pendidikan tinggi.
Karena pangkat akademik, seyogianya hanya didapatkan oleh orang-orang yang ada di lingkungan akademik saja. Realitasnya, profesor juga menjadi gelar yang seolah bisa didapat oleh semua kalangan. Bahkan ada kampus yang juga seperti berlomba menghadiahkan gelar-gelar akademiknya kepada orang-orang yang berpengaruh.
Ideanya untuk mencapai derajat profesor ini, secara normatif, seseorang harus mengumpulkan sejumlah kum tertentu sebagai cermin kerja akademik dan ilmiah. Kum itu sendiri diperoleh melalui sejumlah kegiatan yang dilakukan, terutama tridarma perguruan tinggi yang mencakup pendidikan-pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Berangkat dari makna itu, dalam makna formal, maka gelar ini tidak boleh ditabal bagi siapa pun. Hanya mereka yang sudah mendapat selembar surat keputusan dari pengambil kebijakan saja, yang berhak menyandangnya. Selebihnya tidak.
Namun mohon maaf, KBA yang belum pada taraf itu secara normatif, saya sebut dengan prof. Ternyata dalam dunia orang pandai, panggilan ini bukan sesuatu yang berlebihan. Seringkali mereka yang banyak mengisi seminar dan kegiatan ilmiah, sudah terbiasa dipanggil dengan prof. Terutama di tempat lain.
Atas dasar ini pula, maka KBA saya sebut prof, juga jangan dianggap macam-macam. Di tempat kita, tidak semata soal kapasitas KBA bagi saya lebih dari cukup. Dengan publikasi yang tidak sedikit, dan kegiatan ilmiah ia jalani dimana-mana. Tapi tetap ada orang yang tidak senang jika secara formal tidak pada tempatnya.
Saya kira kondisi ini dipengaruhi KBA yang dari awal kuliah sarjana memilih Yogyakarta. Sejumlah teman saya yang kuliah di daerah itu, memiliki semangat yang sama. Mereka memiliki energi yang lebih untuk ikut-ikut diskusi. Berbeda dengan tempat lain, yang proses diskusi tidak begitu hidup.
Saya terkesan dengan keberanian anak-anak kampung yang memilih merantau di usia muda, khususnya untuk kuliah. Terus terang saya tidak memiliki keberanian ini di awal. Hal yang paling saya takuti adalah ketersediaan ekonomi. Baru kemudian, setelah selesai sarjana saya berkesempatan merasakan suasana rantau, baru memahami bahwa ekonomi juga ditentukan oleh kegigihan. Apalagi mereka yang menuntut ilmu, kegigihan akan mampu melahirkan semangat untuk kebutuhan itu.
Saat merasakan rantau itulah, saya beberapa waktu bisa merasakan aroma Yogyakarta. Saat sejumlah teman menjalani kuliah di sana, secara bergantian saya menginap dan merasakan suasana yang sebelumnya tidak pernah saya rasakan. Lalu kalau saya bandingkan dengan KBA dan anak-anak lain waktu itu yang sudah pergi jauh bahkan setelah sekolah menengah, bagi saya keberanian mereka luar biasa.
Saya membandingkan dengan orang lain juga, guru-guru saya. Profesor Yusni Saby, Profesor Syamsuddin Mahmud, Profesor Amiruddin, dan banyak orang yang justru mereka sudah berkelana keilmuan ke tempat jauh sejak dari usia muda. Saya tertinggal jauh dengan pengalaman banyak orang lain.
Saya kira semangat ini juga menentukan seseorang itu bisa survive secara intelektual. Ada semangat lebih untuk mendapatkan kualitas intelektual yang di atas rata-rata. Bukankah keadaan ini sebenarnya tidaklah aneh?
Saya melihat karakter ini ada pada KBA. Saat kami belum apa-apa secara intelektual, ia sudah menulis buku dan beredar luas di kalangan masyarakat luas –bukan hanya kalangan akademis. Dan sejumlah buku yang ditulisnya menjadi rujukan penting sejumlah pihak. Hal ini bisa dibuktikan jika kita buka google scholar, sudah ratusan sitasi yang ia dapatkan.
Saya belum lama mengenal KBA. Saat akhir kuliah dan aktif terlibat dalam kelompok diskusi mahasiswa di Banda Aceh, nama KBA bahkan belum pernah saya dengar. Padahal saat itu, sekira 2001-2003, ia sudah menjadi orang muda penting dalam kalangan akademis tertentu. Sejak sarjana, ia menulis sejumlah buku penting yang menjadi rujukan pengambil kebijakan.
Setelah sarjana, ia kemudian melanjutkan magister. Padahal saat itu, sarjana saya juga meugap-meugap. Betapa tertinggalnya saya dibandingkan mereka yang semangat belajarnya melebihi rata-rata. Semangat inilah yang saya kira harus dimiliki anak-anak Aceh, untuk belajar setinggi mungkin.
Baru setelah magister, proses perkenalan ini dimulai. Perkenalan ini pun bukan terjadi lewat kegiatan akademis. Lewat sejumlah kegiatan yang bernuasa kekeluargaan. Kegiatan-kegiatan meugampong itulah, pelan-pelan intelektualitas KBA saya kenal. Soal mengenal ini, saya juga jauh tertinggal. Orang lain sudah mengenal KBA lebih dalam.
Sejumlah hal penting bisa saya rasakan dari KBA. Dengan berdiam lama di Kuala Lumpur, Thailand, dan Australia, ternyata tidak menghilangkan identitasnya dalam hidup meugampong. Kelebihan KBA ini adalah selalu berusaha datang dalam undangan yang sebagian kita orang pandai sudah tidak peduli. Suatu waktu ia bercerita, bahwa memenuhi undangan itu memiliki tujuan yang kompleks. Di satu sisi, ia menjadi ruang untuk bisa saling bersilaturahim, bertatap muka, saling menyapa, yang membuat hubungan sesama manusia akan bertambah harmonis. Pada sisi lain, sering tanpa disadari, momentum itu akan menguatkan identitas kita sebagai bangsa.
Dengan kesederhanaan ini pula, ia tidak mengendurkan konsistensi menulis. Bagi saya, KBA adalah contoh orang pandai yang tidak berhenti menulis, baik artikel atau opini di koran, artikel jurnal ilmiah, maupun buku-buku. Berbagai pilihan itu memiliki segmen pembaca masing-masing. Biasanya orang pandai yang sudah mendapat segmen kelas intelektual, tidak mau lagi menulis untuk publik awam.
Kesibukan KBA juga luar biasa. Bagaimana ia menulis di tengah kesibukan yang begitu rupa? Inilah yang saya belajar sebagai strategi menulis dari KBA. Cermin dari konsistensinya dalam menulis, ia selalu serius merekam atau mencatat berbagai hal yang menurutnya penting. Ia termasuk orang pandai yang lebih banyak memilih mendengar ketimbang berbicara. Dengan kesabarannya inilah membuatnya tidak habis-habis ide dalam menulis.
Manajemen waktu yang saya tahu, KBA menggunakan waktu secara efektif. Ia membiasakan diri dan keluarganya untuk istirahat secara efektif. Seringkali telepon saya sekitar jam 10 malam sudah tidak terangkat. Rupanya pada jam segitu, ia sudah berusaha untuk istirahat. Sejumlah pesan penting saya dibalas saat orang lain justru belum terbangun. Ia memilih menulis pada waktu yang masih segar dan hening, saat orang lain bahkan belum memilih untuk bangun dari istirahatnya.
Tapi dalam setahun terakhir, tuntutan jabatan membuat jadwalnya juga berubah. Saya berharap tetap ia bisa menyelesaikan artikel-artikelnya dalam suasana yang semakin bersaing kepentingan akademik dan kepentingan administratif.
Hal lain yang saya rasakan adalah pada sistematika yang ia selalu bangun. KBA bagi saya menjadi satu penulis yang memiliki strategi jangka panjang. Setiap potongan-potongan tulisannya, pada akhirnya menjadi satu pikiran yang utuh. Bukankah tidak semua orang bisa berpikir strategis semacam ini?
Sejumlah buku yang ditulisnya, bagi saya menggambarkan ada sistematika yang semacam ini. Dua yang penting dalam catatan saya, ketika ia menyelesaikan buku Acehnologi yang enam volume, dan buku Masa Depan Dunia yang mungkin saja ia sedang mempersiapkan berjilid-jilid lagi.
Saya kira strategi ini yang ingin saya pelajari dari Prof. KBA. Bunga bangsa kita menerbangkan harum semerbak, yang tidak henti menulis.