Sesungguhnya saya agak ragu, apakah istilah tradisi hukum sebagai sesuatu yang tepat. Apakah ia juga bisa dipilih –ketika keadaan memiliki pilihan. Namun tulisan ingin mempertegas apa yang pernah digelisahkan sebagian sarjana hukum generasi kemudian, yang mempertanyakan –antara lain—mengapa Indonesia tidak memilih hukum adat sebagai tertib hukumnya. Realitasnya adalah kita memilih sisa-sisa tertib hukum kolonial sebagai kelanjutan dari tradisi hukum kita.
Apa yang dicatat oleh Daniel S. Lev, barangkali dapat menjadi satu pembanding. Menurutnya, dengan datangnya kemerdekaan, Indonesia sebenarnya memiliki dua tradisi hukum untuk dipilih, yakni hukum corak Eropa dan hukum asli Indonesia. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa pilihan tradisi hukum yang bercorak Eropa, bukanlah pilihan yang kebetulan –atau malah kekhilafan.
Selengkapnya narasi Daniel S. Lev menyebutkan: “Para advokat Indonesia dan sejumlah besar cendikiawan lainnya menginginkan negara yang terutama bersistem hukum corak Eropa yang berlaku di masa kolonial. Akan tetapi, yang menang adalah sistem hukum yang semasa kolonial diperuntukkan bagi golongan Indonesia (asli), yang dimuati dengan alat hukum dan, secara lebih halus, dimuati dengan anggapan-anggapan politik, dengan mana bangsa Indonesia diatur di masa Hindia Belanda. Dalam tubuh hukum substantif yang tetap digunakan oleh Republik, masyarakat majemuk tanah jajahan tetap lestari; dan dalam lembaga-lembaga yang dapat bertahan melalui masa revolusi tetap hidup pula struktur politik kolonial yang bersifat represif” (Lev, 2013).
Suatu narasi tentu saja tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Sebagaimana juga sebuah realitas sejarah yang memiliki alam pikirnya sendiri menurut zaman. Pilihan apapun memiliki alasan bagi para pemikir waktu itu, Sebagai teks yang membutuhkan tafsir, semua hal bisa dijelaskan oleh dan kepada generasi kemudian. Namun demikian, ada pertanyaan juga yang menjadi tanda tanya. Mengapa tidak memilih tradisi hukum kita? Ada kenyataan sejarah bahwa sesuatu yang berlaku pada masa lalu, sudah dijadikan pegangan masa kini. Ketika kondisi demikian, ada pertanyaan mengenai hakikat revolusi dalam hal berjuang untuk memiliki sesuatu yang baru sebagai milik kita sendiri, dalam wujud hukum khas kita. Perihal ketergantungan tersebut, menggambarkan bahwa melahirkan hukum versi kita sendiri itu tidak mudah.
Kondisi tersebut, menurut Soetandyo Wignjosoebroto, memang disertai adanya pengakuan terhadap hukum lokal (Wignjosoebroto, 2013). Apa yang disebut Eropanisasi juga tidak seluruhnya demikian, melainkan ada beberapa hukum lokal yang masih berlaku. Masalahnya adalah tidak semua hukum lokal selaras dengan hukum bercorak Eropa. Sehingga yang terlihat mengenai hukum ternyata jalur kompromi tetap dimenangkan oleh corak hukum yang diadopsi tersebut.
Sebagaimana disebut oleh Daniel S. Lev, apa yang berlangsung sebelum kemerdekaan, kemudian dibawa ke negara yang telah mengalami kemerdekaan. Secara lengkap, Daniel S. Lev menulis: “Tidak ada petunjuk yang lebih jelas tentang tidak adanya gagasan baru perihal negara, masyarakat, dan perekonomian, atau tidak didapatinya mufakat mengenai hal-hal yang tersebut tadi, daripada kenyataan bahwa hukum substantif pasca-1945 hampir sama persis dengan hukum substantif pada tahun 1941. … Kitab Undang-undang Hukum Pidana hampir masih dalam keasliannya, kecuali perubahannya yang sedikit –misalnya “Ratu” dan “Gubernur Jenderal” diubah dan dibaca “Presiden” dan “Wakil Presiden”, dan sebagainya (Lev, 2013).
Apa yang ditulis Daniel S. Lev, setelah sekian waktu, berubah pelan. Produk hukum pidana sudah mulai lahir wujudnya, walau belum masanya berlaku. Perkembangan hukum, yang walau tertatih, sesungguhnya patut dibanggakan.