Memori

Otak kita seperti berbilik-bilik. Kita mampu mengingat apapun ketika masa kecil, hanya dengan memanggil memori yang sudah terekam di otak. Dengan kata kunci tertentu, ingatan itu bisa dipanggil. Semua yang pernah berlangsung, bagi pengingat yang …

Otak kita seperti berbilik-bilik. Kita mampu mengingat apapun ketika masa kecil, hanya dengan memanggil memori yang sudah terekam di otak. Dengan kata kunci tertentu, ingatan itu bisa dipanggil. Semua yang pernah berlangsung, bagi pengingat yang kuat, akan mampu melihat kembali lekuk-lekuk yang pernah terjadi.

Begitulah ketika suatu waktu, display laptop saya perlihatkan saat presentasi diskusi menulis. Ada kartu identitas lama, yang bisa mengingatkan banyak hal. Seperti sebuah memori, yang langsung terbayang apa yang waktu itu terjadi. identitas berwarna merah putih, hanya kampung kami yang memilikinya.

Tahun 2003, kebijakan berlapis ingin mengontrol proses pembuatan identitas. Seperti ada hubungan yang terganggu, sipil yang diragukan mampu melaksanakan proses adminitrasi identitas itu secara sempurna. Namun apa yang terjadi? Ternyata sejumlah orang yang ditangkap dan diidentifikasi sebagai pemberontak, juga ditemukan identitas yang berwarna merah putih itu. Entah bagaimana caranya.

Orang yang pernah memegangnya waktu itu tahu persis apa yang saja yang dialami. Otak mampu membuka memori itu dengan hanya mengingat kata kunci tertentu saja. Orang yang melihat identitas merah putih, seseorang bisa bercerita secara lengkap apa yang pernah dialami.

Itulah zaman yang terus berjalan ke depan. Sedangkan memori, akan terulang saat kita melewati tempat tertentu. Suatu hari di zaman buruk, saat itu masih berumur 13 atau 14 tahun. Seorang remaja penakut, yang jarang keluar rumah, pulang dan pergi ke sekolah dengan jalan kaki. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 10 kilometer. Setiap hari, pulang dan pergi, berjalan kaki sekitar 20 kilometer. Bukan anak-anak sekolah saja yang jalan kaki waktu itu. Banyak juga guru yang jalan kaki. Guru senior, yang untuk membeli sepeda saja tidak mampu. Guru senior, yang mungkin sekarang, dengan berbagai tunjangan, bisa mengambil kredit mobil mewah dan rumah bagus. Dulu tidak, guru-guru sekolah menengah, di kampungnya dianggap sebagai golongan menengah yang memiliki pendapatan lumayan. Akan tetapi secara pribadi, mereka merasakan kepahitan yang tiada tara. Dengan kebutuhan membiayai keluarganya menumpuk. Dalam suasana demikian, kreativitas mereka timbul, giat mereka muncul. untuk menutupi berbagi kebutuhan, mereka berkebun secara serius. Kebun yang mereka bangun waktu itu, kini sudah mendapat hasilnya yang melimpah. Dulu ketika mereka jalan kaki ke sekolah, kini memiliki mobil bukan dari kredit, melainkan beli dengan uang kontan.

Begitulah. Remaja itu, suatu siang, ketika pulang sekolah, turut menyaksikan kerumunan. Orang bertumpuk mengelilingi sebuah mayat yang baru saja diangkat dari arus sungai. Ada seorang pemancing yang mengaitkan tubuh itu hingga ditarik ke darat. Bau sudah membusuk. Ketika mendekat, tubuh remaja itu langsung melemas. Berhari-hari tidak mampu makan mengingat tubuh manusia begitu rupa. Bertahun-tahun teringat bagaimana manusia diperlakukan.

Sejak saat itu, ia sudah mulai jarang keluar rumah. Ketika mendengar berita ada penemuan mayat, ia langsung membungkus tubuhnya di dalam rumah. Waktu itu, mayat berbagai ragam ditemukan, utuh atau bahkan sudah penuh luka dengan berbagai rupa. Dengan penuh ketakutan sempat pula ia menyaksikan beberapa kali mayat-mayat yang diletakkan di pasar ikan, begitu saja disangkut di depan rumah orang-orang tertentu, atau sengaja di buang di kampung-kampung yang tidak menang partai berkuasa. Ia mendengar dari jauh, orang-orang yang dikumpulkan di lapangan, lalu semuanya menyaksikan ada orang tertentu yang dieksekusi lalu dicampakkan. Orang-orang kampung memilih dan melaksanakan fardhu kifayahnya. Zaman buruk yang sudah dilewati, namun sekali lagi, rekaman tersimpan di otak masing-masing orang.

Empat tahun kemudian, saat umur sudah 18 atau 19 tahun, ketika menjadi mahasiswa, semangat ternyata bisa berubah. Suasana juga sudah berubah. Ketika demo 19 Maret 1998, hanya sedikit orang yang mau menyampaikan bagaimana kampung-kampung mencekam. Selebihnya, banyak yang memilih diam. Ketika ikut serta duduk diam dalam barisan mimbar bebas, remaja itu masih berpikir wajahnya akan ada di pusat-pusat pemberi informasi tak benar.

Orang kampung, waktu itu, tidak tahu akan menyampaikan ke mana masalah yang dihadapinya. Semakin orang datang, semakin mereka merasakan tidak tenang, semakin mengunci rumah-rumah mereka dalam gelap.

Begitulah ingatan, ia terekam, dan hanya butuh kata kunci atau suasana tertentu untuk memanggilnya membayang kembali. Saat kita teringat semua hal itu, yang tak tentu waktu, berdoalah, supaya tidak terulang kembali kisah kelam di zaman buruk.

Allahummaghfirlahum…

Leave a Comment