Pernahkah Anda melakukan evaluasi terhadap kesabaran Anda? Ternyata saya tidak terpikir untuk melakukannya dari dulu. Padahal penting. Sabar itu digambarkan sebagai orang yang berada di atas levelnya orang bijak. Dalam strategi berperang, orang sabar itu berada pada tingkat paling tinggi yang ditentukan dengan keadaan memenangkan perang tidak dengan menghancurkan lawan.
Lantas bagaimana evaluasi sabar dilakukan? Sepertinya mudah dari rumusnya, tetapi sulit dalam mewujudkannya. Sama seperti melakukan evaluasi yang lain. Kesabaran yang harus kita uji terlebih dahulu. Kesabaran tidak terkait dengan seseorang yang tidak stabil darahnya. Walau tinggi darah, orang yang sabar tetap bisa mengontrol. Dalam keadaan apapun, orang yang sabar masih bisa mengontrol diri, baik secara fisik maupun psikis.
Mereka yang memiliki kesabaran yang bagus, maupun yang tingkat kesabarannya rendah, harus sering-sering melakukan evaluasi. Ada pertanyaan, untuk apa kesabaran itu dipersembahkan? Masing-masing bisa jadi mengalami pengalaman yang berbeda. Ada yang menyebut kesabarannya untuk mencapai kualitas kehidupan yang baik. Ada yang beralasan, kepentingannya hanya ingin mengontrol kesehatan. Selain itu ada juga karena faktor ingin menjaga hubungan dengan banyak orang.
Satu hal yang penting, sesungguhnya ada penegasan di dalam al-Quran bahwa orang sabar itu akan disayangi Pencipta. Dengan konsep yang demikian, semua tujuan dan kepentingan akan tercapai dengan mudah. Berpikir yang lebih hakiki akan melakukan sejak dari akarnya.
Evaluasi yang dilakukan terkait dengan posisi manusia sebagai makhluk berakal. Evaluasi ini sama seperti kita melakukan untuk hal yang lain. Untuk semua aktivitas yang kita lakukan, seyogianya tidak ada yang terlewatkan untuk kita lakukan evaluasi.
Saya teringat ketika melakukan evaluasi kinerja. Evaluasi ini buah dari kebijakan yang terus berubah. Berganti posisi, berganti struktur, berganti cara dan upaya. Sesuai dengan perjalanan waktu: dulu, kini, dan esok. Entah perubahan kebijakan apa lagi yang akan terlihat di depan mata, nanti. Kebijakan yang bisa diduga, atau kebijakan yang bisa tanpa diduga-duga.
Evaluasi adalah sesuatu yang baik. Melakukan suatu evaluasi atas aktivitas apapun, apalagi yang dibiayai publik, mutlak dibutuhkan evaluasi. Masalahnya acapkali, kemudi politik menentukan arah perubahan itu. Barangkali ada kepentingan baik di balik itu, dan tidak selalu harus mencurigai tidak baik. Namun demikian, kenyataan yang tidak baik harus dikoreksi. Jangan gara-gara evaluasi, lalu menghalalkan segala cara.
Terkait aktivitas kita, evaluasi membutuhkan berbagai bahan sebagai laporan kemajuan. Sudah lama terdengar sejak adanya tunjangan sertifikasi, cara-cara yang kreatif muncul. sertifikasi membutuhkan waktu tugas yang cukup. Beruntung untuk jenis mata pelajaran atau mata kuliah tertentu yang durasinya tinggi. Lantas bagaimana dengan yang tidak cukup? Cara yang kreatif itu, antara lain menciptakan ruang tugas baru, atas kenyataan yang sama.
Sertifikasi ini memiliki standar tertentu yang harus dilakukan. Atas alasan inilah, sertifikasi dikaitkan dengan profesionalisme (dari profesi). Secara sederhana, sertifikasi dapat dipahami sebagai proses penyertifikatan. Dari asal kata sertifikat, berarti tanda atau surat keterangan (pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti pemilikan atau suatu kejadian. Begitu kamus menjelaskan.
Proses itulah yang dikaitkan dengan profesionalisme. Kata ini, kalau kita jenguk kamus, dari asal kata “profesi”, yang berarti “bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu”. Dari kata “profesi”, dikenal “profesional”, yang berarti: “(1) bersangkutan dengan profesi; (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya; (3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Dikenal pula profesionalisme, yang bermakna mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri dari suatu profesi atau orang yang profesional”.
Dengan konsep demikian, bisa disimpulkan bahwa mereka yang profesional adalah mereka yang bisa diandalkan. Apapun bisa ditumpukan pada mereka, tentu, sesuai dengan profesi mereka masing-masing.
Untuk alasan inilah, evaluasi dilakukan. Evaluasi yang merupakan progres dari suatu proses. Sekali lagi, tekanan moral tidak diukur. Ukuran adalah angka tertentu, yang terkumpul menurut standar tertentu. Walau tidak ada tekanan moral, evaluasi untuk para profesional, tidak boleh memunculkan perilaku yang tidak asli. Namun jangan lekas percaya. Asli atau tidak, mungkin karena kata-kata saya saja.
Terlepas berbagai kepentingan, orang yang akan dievaluasi, seyogianya harus tegar dan tidak boleh mengeluh. Kewajiban apapun, memang sudah seharusnya dievaluasi.
Begitulah evaluasi kegiatan dilakukan, lantas apakah begitu juga evaluasi secara ketat kita lakukan untuk kesabaran kita? Jika masih belum melakukannya, saya kira, mari kita mulai segera.