Meunasah

Seorang teman, entah sengaja atau tidak, baru-baru ini mendapatkan satu buku saya yang berjudul Meunasah sebagai Universitas. Sesuai dengan judulnya, buku ini memang mengulas sejumlah sisi dari meunasah. Ada banyak sisi yang bisa dikumpas. Misalnya …

Seorang teman, entah sengaja atau tidak, baru-baru ini mendapatkan satu buku saya yang berjudul Meunasah sebagai Universitas. Sesuai dengan judulnya, buku ini memang mengulas sejumlah sisi dari meunasah. Ada banyak sisi yang bisa dikumpas. Misalnya mengenai sebutan mengapa ia disebut sebagai meunasah? Teman meminta saya menjawab sejumlah yang ia tanyakan secara khusus. Bagi saya, pertanyaannya unik dan khas. Pertanyaan tertentu malah sangat menggugah. Saya pribadi menjawab semampunya. Tidak semua hal bisa saya jawab memuaskan. Terutama mengenai mengapa ada meunasah dalam masyarakat.

Ada sejumlah akademisi yang sudah menulis hal ini –sekali lagi—mereka menulis dari masing-masing sisi. Hal yang terakhir penting, karena perbedaan sisi dan cara pandang, berkemungkinan akan melahirkan sesuatu yang berbeda dengan sisi yang dipandang oleh orang lain. Lebih jauh, untuk perbedaan itu bisa melahirkan corak dan paparan yang berbeda. Makanya yang dibutuhkan ketika mendiskusikan hal tertentu adalah berangkat dari titik dan cara pandang yang sama.

Saya terpaksa mengingatkan bahwa melihat banyak hal, kita bisa mencontoh bagaimana orang buta mendeskripsikan posisi gajah. Mereka yang secara kebetulan hanya memegang belalai, akan berbeda dengan orang yang hanya kedapatan memegang gading atau telinga. Semua yang dipegang itu akan melahirkan anggapan mereka yang berbeda terhadap gajah. Atau sekelompok orang yang tidak pernah ke luar wilayah tertentu, ketika melihat sesuatu yang tidak ada di daerahnya, akan diceritakan kepada orang di lingkungan dalam narasi yang berbeda-beda.

Begitulah, saya memulai dengan menggambarkan perbedaan masjid dan meunasah. Pada masa dulu, orang sangat berpegang pada cara pandang tertentu terhadap fiqh. Dalam pemahaman orang-orang, menunaikan kewajiban itu terbagi dalam sejumlah level. Orang yang menunaikan shalat rawatib tidak masalah, akan menunaikan secara berjamaah di tempat tertentu. Namun khusus untuk shalat Jumat, terdapat sejumlah pola, termasuk ditentukan jumlah orang yang menjadi jamaah dan mereka bermukim di sana. Istilah bermukim inilah, yang jika dilihat pada cara pandang orang-orang waktu itu, tidak mungkin terpenuhi jika hanya mengandalkan satu kampung saja.

Meunasah sendiri dalam masyarakat kampung berposisi sangat khas. Proses pendidikan –termasuk penguatan akidah—berlangsung melalui pendidikan dasar dari meunasah. Orang tua sengaja menitipkan anaknya untuk diajarkan di meunasah karena memang di sana ada lembaga pendidikan yang hidup. Berbagai kegiatan juga dilaksanakan di sana. Orang-orang muda akan terfokus untuk melaksanakan berbagai kegiatan di dalamnya. Dengan demikian mereka tidak terpikir macam-macam, untuk melakukan hal yang bermacam-macam juga.

Ada hal lain yang selama ini dilupakan orang, bahwa di sanalah internalisasi dan sosialisasi berbagai hal dihidupkan. Internalisasi dan sosialisasi ini kadang-kadang berlangsung dengan caranya sendiri. Saya teringat suatu cerita yang menyebutkan orang-orang yang tidak pernah keluar ke meunasah untuk shalat jamaah, sesekali akan dijemput oleh warga lainnya. Dalam kehidupan yang demikian, kewajiban shalat berjamaah sudah tidak berhenti pada kewajiban pribadi semata, pelaksanaan jamaah harus dilakukan walau oleh sekelompok orang, di samping itu dalam masyarakat memiliki nilai sosial tersendiri. Melalui momentum shalat jamaah, mereka bisa membentuk dan berbagi informasi tentang berbagai hal. Apa yang terlihat dalam masyarakat kita? Aneh jika dalam masyarakat, ada anggota masyarakat yang tidak dikenal oleh masyarakat lainnya.

Teman saya itu mengangguk-angguk atas apa yang saya sampaikan. Terus-terang, anggukannya itu mungkin tidak berarti ia sangat memahami. Bisa saja saya tidak bisa menjelaskan secara terang.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment