Mu’az Penghafal Qur’an

Seorang teman saya, memiliki satu tulisan menarik. Ia menceritakan seorang profesor yang baru dilihatnya. Masalahnya adalah profesor itu secara fisik berkekurangan. Khususnya indera. Namun ia seorang profesor yang datang menguji. Dan ketika menguji mahasiswa, bukan …

Seorang teman saya, memiliki satu tulisan menarik. Ia menceritakan seorang profesor yang baru dilihatnya. Masalahnya adalah profesor itu secara fisik berkekurangan. Khususnya indera. Namun ia seorang profesor yang datang menguji. Dan ketika menguji mahasiswa, bukan menguji biasa-biasa saja. Ia menguasai dan paham betul apa yang ia uji. Tidak menjadikan cacat fisik sebagai alasan.

Sebenarnya sang profesor menjadi salah satu penguji ujian seorang teman. Ia datang dengan diantar istrinya. Datang tidak sebagai orang yang berkekurangan. Menurut teman saya yang kemudian menulis secara fasih, membuat kita merinding betapa orang-orang yang kita anggap tidak sempurna, justru mempersiapkan diri dalam berbagai hal secara sempurna dalam kehidupannya.

Tentu ketidaksempurnaan fisik belum tentu tidak sempurna di hadapan Pencipta. Bisa jadi orang-orang yang berkekurangan secara fisik justru lebih sempurna dibandingkan kita yang secara fisik lengkap. Makanya orang-orang yang lengkap secara fisik, harus banyak merenung mengenai kondisi hidupnya yang paripurna.

Saya juga teringat ada satu kisah lain. Ada satu kisah yang saya dengar dari seorang penceramah. Kisah ini juga mengharukan saya. Ada seorang anak yang berusia enam tahun, dengan kondisi buta. Namanya Mu’az. Oleh kedua orang tuanya, ia diantar ke seorang guru yang membimbingnya untuk menjadi seorang penghafal al-Quran. Jarak dari rumah dengan rumah gurunya, sekitar 15 kilometer. Dan ia harus ke sana setiap harinya.

Orang yang normal seperti kebanyakan kita, sering bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang anak, tidak bisa melihat dengan indera penglihatan, bisa dan mampu menempuh perjalanan sekitar 15 kilometer setiap hari. Orang normal sering tidak mampu memahami ada ‘indera’ lain yang dimiliki oleh orang yang tidak bisa melihat seperti itu. Dengan ‘indera’ lain itulah, memungkinkan penglihatan dan penghayatan terhadap suatu hal, lebih tajam mereka dibandingkan dengan orang yang normal.

Begitulah. Mu’az, dengan dibimbing oleh gurunya, harus melakukan penghafalan satu ayat dalam satu hari. Ia mampu melakukannya, hingga pada suatu hari, ia merasa perjalanannya terlalu jauh. Dengan kondisi itu, ia meminta gurunya mengizinkan Mu’az menghafal lima ayat dalam satu hari, karena perjalanannya yang jauh itu, dan itu dijadikan alasan. Sementara guru bersikukuh bahwa ia harus menghafal satu ayat saja. Setelah mendengar nasehat guru, ia mengikuti dengan khitmad.

Akhirnya ia berhasil menghafal 30 juz al-Quran dalam waktu enam tahun saja. Tentu, usianya masih belia. Apalagi dibandingkan sekarang, ketika menghafal al-Quran tidak menjadi pilihan banyak orang. Jumlah penghafal al-Quran jumlahnya juga tak banyak, terutama dibandingkan dengan hafalan lainnya.

Suatu kali, oleh gurunya, Mu’az disarankan untuk berdoa agar Allah swt menyembuhkan matanya. Dalam hal ini, mata menjadi indera untuk bisa melihat dunia ini. Permintaan itu ditanggapi sebaliknya oleh Mu’az. Ia seperti merasakan kelezatan lain. Mu’az justru berkeinginan untuk membiarkan matanya sebagaimana adanya sekarang ini. Alasannya sangat sederhana. Ia takut apabila Allah swt menyembuhkan matanya, maka sisa umurnya berpeluang untuk tidak bisa mempertanggungjawaban secara sempurna, dan membuat persiapan yang sudah dijalani hingga setengah umurnya menjadi sia-sia. Ia takut dengan mata, tidak mampu menahan diri untuk tidak melihat hal-hal yang tidak boleh dilihat. Makanya pilihan dengan kondisi indera penglihatan sebagaimana adanya, menjadi pilihan Mu’az.

Keinginan Mu’az ini terkait dengan bagaimana indera kita masing-masing dipertanggungjawaban kelak. Semua indera akan diminta pertanggungjawabkan, ketika pada suatu hari sebagai ruang pembalasan, maka mulut menjadi terkunci. Semua indera manusia, menjadi saksi. Indera peraba, pencium, dan perasa, akan mempertanggungjawabkannya masing-masing tentang kemana dan bagaimana ia dipergunakan oleh manusia selama hidupnya.

Lantas, apa yang dipikirkan oleh Mu’az juga turut kita pikirkan? Jangan-jangan tidak. Dengan berbagai kenikmatan yang sudah kita dapat, barangkali untuk bersyukur saja, kita tidak memiliki waktu walau sejenak. Ketika jatah waktu sudah berakhir, mungkinkah saat itu kita akan terjaga?

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment