Para Pemuda

Selama ini, alhamdulillah mendapat sejumlah kesempatan mengunjungi banyak tempat. Tujuan berbagai macam. Untuk tempat yang jauh, rata-rata karena ada undangan untuk membantu pembentukan peraturan kampung. Mengapa saya sebut undangan? Tidak mungkin untuk ke tempat –yang …

Selama ini, alhamdulillah mendapat sejumlah kesempatan mengunjungi banyak tempat. Tujuan berbagai macam. Untuk tempat yang jauh, rata-rata karena ada undangan untuk membantu pembentukan peraturan kampung. Mengapa saya sebut undangan? Tidak mungkin untuk ke tempat –yang apalagi letaknya jaug dari tempat tinggal—tersebut, tanpa difasilitasi. Minimal, untuk tempat menginap, biasanya akan disediakan rumah tertentu untuk dititipkan kami. Tempat yang difasilitasi kadang-kadang tidak ada penginapan komersil. Pilihannya hanya pada rumah-rumah penduduk. Pernah di satu tempat, dari kota kabupaten, butuh 2-3 jam perjalanan darat.

Dengan mengunjungi sejumlah tempat tersebut, salah satu yang terlihat pada semangat para pemuda untuk beribadah. Sepertinya ada pergeseran yang terlihat begitu saja –bukan melalui semacam riset—kampung yang semakin kendur kegiatan-kegiatan keagamaan. Sekali lagi, ini hanya penglihatan sekilas, yang bisa jadi pada saat ke tempat tertentu menemukan keadaan yang semacam itu. Sedangkan di kota, orang sudah mulai menggerakkan apa yang sebelumnya hanya dilakukan di kampung-kampung. Gotong royong semakin mudah dijumpai di kota-kota. Sedangkan di kampung-kampung, kegiatan sosial sudah berganti wujudnya dengan penggunaan dana yang disediakan oleh negara. Begitu juga dengan kegiatan-kegiatan rutin semisal silaturahim di dalam ruang-ruang sosial.

Saya tidak berbicara kampung dan kota dalam konteks ilmu. Dengan menggunakan parameter tertentu secara keilmuan, yang dimaksud kampung dan kota akan berbeda makna. Kampung dan kota sebagai dua entitas yang berbeda yang seyogianya juga secara keilmuan harus diperlakukan berbeda. Tapi saya membahas ini dalam makna realitas kemasyarakatan. Orang kampung saya, misalnya, selalu akan menyebut kota untuk tempat-tempat yang tersedia berbagai kebutuhan perbelanjaan. Mereka tidak mau tahu, apakah tempat itu sudah layak atau tidak disebut kota dalam makna ilmu. Saya kira perbedaan ini yang harus dipahami dan jangan dipersoalkan.

Posisi beribadah, hal yang paling terlihat dan mencolok adalah pada shalat jamaah magrib. Pada kampung-kampung tertentu, dulu, ketika ingin melihat seseorang masuk atau tidaknya bersosialisasi dalam ruang sosial, dilihat pada kehadirannya ke meunasah waktu shalat magrib. Waktu itu dianggap alat ukur seseorang itu mau bersosialisasi atau tidak. Waktu ini dianggap paling krusial dan memungkinkan perjumpaan dalam ruang sosial terjadi dengan baik. Sedangkan pada waktu yang lain, sering tidak dipermasalahkan. Walau tak juga berarti berada di tempat yang dekat dengan shalat jamaah.

Keadaan lain saya dapat di sejumlah tempat. Ketika ada meunasah yang di sekelilingnya ada para pemuda nyata-nyata tidak shalat dan duduk saling ngobrol di sekitar meunasah. Kecenderungan ini, siapa yang akan tangani? Hal yang khusus, semalam saya shalat magrib dan isya di satu desa. Para pemuda duduk di samping lapangan voli, persis samping musholla, menyaksikan orang-orang shalat. Mereka haha hihi, menyaksikan orang-orang yang keluar dari tempat ibadah. Apakah kita sudah terbangun untuk berusaha memahami keadaan ini?

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment