Baik dan ikhlas sepertinya menjadi barang yang mahal di era modern kini. Seorang anak muda yang menemukan dompet dengan uang jutaan di dalamnya, lalu mencari sang pemilik dompet, dipandang sangat aneh. Tidak sulit mencari pemilik dompet yang di dalamnya ada sejumlah kartu identitas. Hanya membutuhkan beberapa rupiah saja untuk membagi lewat media informasi.
Orang yang demikian dianggap aneh, tentu ada alasan. Utamanya adalah semakin sulit mencari mereka yang bermentalitas sebaliknya. Era semakin tidak jelas lagi mana yang seharusnya milik kita dan milik orang lain. Bertukar-tukar apa yang seharus bukan milik kita, tetapi dianggap milik kita.
Perbuatan baik semacam ini juga sama dalam sejumlah hal yang lain. Seseorang yang secara bersahaja membantu orang buta menyeberang jalan raya –walau bukan berarti tanpa kita orang buta itu tidak bisa melakukan apa-apa. Banyak orang yang tidak bisa melihat dengan mata kepala, namun bisa pergi kemana-mana. Mereka kadangkala lebih memiliki mata hati dibandingkan kita yang sehat indera penglihatannya.
Membantu orang yang sedang susah, berfikir tentang kehidupan banyak orang agar berjalan baik, turut serta dalam aktivitas sosial yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Semua perbuatan baik itu semakin langka. Maka tidak mengherankan ketika ada orang yang melakukannya, dianggap sebagai sesuatu yang sangat luar biasa.
Melakukan sesuatu yang baik, selalu berefek baik. Bisa jadi awalnya dibalas dengan perilaku yang tidak baik, namun titik akhir akan mencapai sesuatu yang baik. Kisah perilaku baik yang dibalas tidak baik, banyak terjadi. Tidak kurang, Rasul pun mendapat perlakuan yang buruk tiada henti. Dengan dasar perbaikan akhlak, keluhuran budi dari diri Rasul memberi efek yang luar biasa bagi pihak-pihak yang berperilaku buruk terhadapnya.
Perilaku baik yang berefek baik tercermin dari satu kasus yang dialami Rasul. Oleh beberapa tetangganya, Rasul sering mendapat perlakuan tak layak. Misalnya diludah dan dilempar tubuhnya dengan kotoran. Perilaku itu terjadi berulang-ulang dan tidak sekali saja. Namun suatu waktu, ketika beliau tidak mendapatkan perilaku buruk itu, beliau justru bertanya-tanya: ada apa? Mungkin dalam bahasa kita, di benaknya sedang bertanya mengapa tidak ada sesuatu hari tersebut? Ketika mengetahui bahwa yang berperilaku buruk itu sedang sakit, Rasul bahkan pulang ke rumah untuk mengambil bekal, lalu beliau akan menjenguk orang sakit yang tidak lain orang yang menzaliminya. Orang yang dikunjungi, berfikir satu hal: bagaimana bisa seseorang yang tiap hari dilempar kotoran atau diludahi, lalu ketika ia sakit justru orang yang dilempari itulah yang pertama datang menjenguknya. Sikapnya lalu, untuk hari-hari berikutnya langsung berubah –pada tingkat tidak 45 atau 90, melainkan 180 derajat.
Lantas, apabila Rasul yang mengalami masalah yang demikian parah dan zalim bisa membalasnya dengan perilaku baik, lantas mengapa kita tidak bisa menirunya? Meniru dalam konteks ini adalah membalas perilaku buruk dengan perbuatan baik. Sesuatu perbuatan buruk yang dilakukan oleh orang lain, dibalas dengan perbuatan baik, akan melahirkan efek yang baik pula.
Bisa jadi perilaku buruk yang dilakukan atau ditampakkan kepada kita, bukan karena kita berperilaku buruk. Ada kejadian perilaku buruk terhadap kita, tidak jarang sebagai balasan dari perilaku baik kita. Kondisi demikian, tak jarang akan melahirkan kondisi emosional kita yang berlipat-lipat. Alasan kita, adalah wajar sebagai manusia, lahir rasa emosional yang memuncak dalam menanggapi perilaku demikian. Padahal, apabila kita menilik bagaimana Rasul membalas perilaku jahat orang, justru kita diajarkan untuk memberi perilaku baik sebanyak mungkin. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berperilaku baik kapan pun dan di mana pun, walau dari orang yang berperilaku jahat terhadap kita sekali pun.
Akhir yang baik adalah harapan dari perilaku baik tersebut. Jika di ujung jalan tersedia pilihan buruk dan baik, maka siapa pun harus berjuang mencapai pilihan yang baik. Makanya dalam hidup dan kehidupan, sesuatu yang baik itu harus dipilih dan dicapai dengan sekuat tenaga. Jangan mengambil pilihan buruk. Jalan yang baik, dengan perilaku dan perbuatan yang baik, tak jarang sebagai sebuah jalan terjal, namun harus ditempuh. Dengan efek yang baik, tentu jalan seterjal apapun, tidak masalah untuk dilalui.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.