Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, berlangsung semarak. Proses mengirim pesan berkembang sedemikian rupa. Dari satu bentuk ke bentuk lain. Dari satu temuan ke temuan lain. Dalam abad inilah berbagai penemuan berlipat kecepatannya.
Pada masa lalu, tidak berlangsung semasif sekarang. Berbagai temuan cepat sekali berganti. Belum sepenuhnya memahami vitur-vitur dan perkembangan satu alat, sudah berganti lagi dengan yang baru. Begitulah seterusnya.
Namun dengan perkembangan demikian, etika juga harus dipegang kuat. Ketika memilih jalur komunikasi apapun, terutama dengan corak grup komunikasi yang ada, proses memberi aba-aba, atau memberi izin, atau apapun namanya, tetap harus dilakukan. Orang-orang yang akan membuat grup harus bersedia melakukan hal ini.
Saya mengalami hal yang tidak mengenakkan. Sekarang ini saya sedang merasakan imbas dari diambilnya electronic mail (e-mail) saya dalam berbagai mailing list.Ketika itu saya hanya memakai satu alamat e-mail saja. Saat datangnya musim awal e-mail, orang-orang membuka satu grup informasi bersama. Ada yang beretika dengan meminta izin sama pemilik, namun tidak jarang, e-mail kita diambil dengan tanpa persetujuan terlebih dahulu.
E-mail kita yang pernah dikumpulkan oleh seorang moderatur yang mengatur lalu-lintas informasi yang akan disampaikan, diperlakukan berbeda seiring dengan perkembangan zaman. Pada awalnya berbagai kumpulan tersebut gegap-gempita dikelola secara sempurna. Moderator juga melaksanakan tugasnya dengan rapi. Namun pelan-pelan ketika media atau ruang lalu-lintas informasi berubah, semangat untuk mengelola itu juga berubah. E-mail pernah mendapat hati para pengguna, namun seiring dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, mengirim pesan semakin bisa dilakukan dengan berbagai cara. Dengan alat teknologi yang murah, menyampaikan pesan bisa dilakukan dengan mudah. Dari berbagai tempat bisa dikirimkan pesan. Tidak terbatas melalui ruang tertentu saja.
Akhirnya tidak semua kumpulan e-mail terkelola dengan baik. Ada kumpulan yang tidak dikelola lagi. Ada yang dengan inisiatif pendirinya untuk ditutup, dan ada yang dibiarkan begitu saja. Untuk pilihan kedua ini, kemudian digunakan oleh mereka yang memainkan jurus mabuk –katakanlah kekuatan halus yang jarang diketahui dari mana sumbernya. Kekuatan inilah yang selama ini mengirimkan berbagai e-mail sampah. Masalahnya adalah di dalam e-mail sampah itu disertakan berbagai produk yang merusak mental manusia.
Cara yang paling sederhana sebenarnya adalah adalah menutup jalur sampah itu. Namun ketika pengelola membiarkan, orang-orang yang lemah ilmu teknologi informasi, akan menerima pesan tersebut tiada henti. Parahnya pesan-pesan tersebut ada yang bersembunyi di balik pesan mulia, seolah-olah pesan yang akan diterima itu sebagai pesan yang baik, bukan pesan yang berisi sesuatu yang merusak.
Kumpulan yang ditinggalkan ini banyak sekali. Memang ada mekanisme normal yang bisa dilakukan, misalnya melalui mengirim pesan tertentu sebagai tanda kita mundur dari kumpulan tersebut. Namun dalam kenyataan, sering tidak efektif, karena pengontrol yang memanajemeni kumpulan sudah tidak ada lagi. Pengontrol itu sendiri sudah hilang entah kemana. Jalan pintas lalu banyak dilakukan orang adalah membuat akun baru.
Saya memilih mempertahankan akun. Walau akun lain dibuat, namun akun lama tetap dibuka dan dipertahankan. Banyak teman yang sudah kehilangan kontak, terlalu sulit untuk dibuang jalur komunikasi yang pernah ada. Mereka yang pernah berdiskusi atau sejenisnya, ketika suatu saat membutuhkan kontak, akan mudah menghubungi.
Pertanyaan lain, mengapa kita harus terlalu memikirkan orang lain. Siapa yang membutuhkan kita pasti akan mencari bagaimana mendapatkan kontaknya.
Menyederhanakan masalah demikian, mudah sekali dilakukan. Mungkin banyak orang yang melakukan langkah begitu. Namun silaturrahim yang terbangun, seyogianya dipertahankan hingga kapan pun.