Tahun 2006, pertama kali saya ngobrol dalam waktu yang lama bersama Dr. Mukhlisuddin Ilyas. Sebelumnya hanya bertemu sekilas di sejumlah tempat. Ia aktif di banyak tempat, memungkinkan dalam banyak kesempatan kami bertemu. Baru tahun 2006, saya tahu Mukhlisuddin berasal dari Samalanga. Hal itu tepat saat pertemuan masyarakat Samalanga Raya. Saya diajak Dr. Muhammad Adli Abdullah untuk membantu panitia kegiatan. Terutama untuk urusan dokumentasi dan publikasi.
Mengajak saya untuk kegiatan penting ini, bukan tanpa alasan. Saat itu, saya bersama Dr. Teuku Muttaqin Mansur, sedang membantu lembaga hukom adat laot, di mana Teungku Adli sebagai sekretaris jenderalnya. Dalam sejumlah kesempatan, untuk kepentingan penelitian, evaluasi maupun monitoring, yang dipercayakan kepada Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, saya secara keilmuan sering dititipkan. Teungku Adli menitipkan saya ke Prof. Humam agar saya mendapat momentum untuk belajar banyak dari sosiolog pedesaan ini.
Alasan itu, saya duga mewakili kepentingan Teungku Adli mengajak saja membantu kegiatan. Walau sesampai di sana, tidak semua pertemuan saya ikuti. Ada pertemuan tokoh untuk membahas pembangunan Samalanga, waktu itu, saya tidak ikut. Tapi untuk semua agenda kegiatan lain, saya tuntaskan.
Saya baru tahu, Samalanga melahirkan banyak tokoh penting untuk Aceh. Dalam pertemuan itu, saya bertemu dengan orang-orang yang rata-rata sudah saya kenal. Mukhlisuddin, saya kira mewakili salah satu generasi kemudian yang mendapat tempat penting dalam pentas pembangunan Aceh. Rumah produksi hasil pemikiran para intelektual, seolah berpindah dari kampus ke sagoe Lamgugop.
Ia merintis dan mendirikan satu penerbit yang bernama Bandar Publishing. Sebuah cita-cita besar yang ia sudah ia tegaskan sejak buku pertamanya terbit. Pelan-pelan, lembaga ini bergerak menjadi arus baru perkembangan kaum intelektual. Jika kita kembali ke konsep, sungguh intelektual itu memang harus berkarya. Tidak mungkin menyebut diri sebagai intelektual, apalagi sampai mengklaim intelektual kritis, namun tidak memiliki karya. Konon ada yang mengklaim ada dampak dari pemikiran-pemikirannya, sedangkan karya tidak ada.
Mukhlisuddin mencoba berdiri di salah satu gerbong pembangunan intelektual di negeri ini. Satu kebutuhan dan sisi penting yang dilakoni sebagai jalan yang saya oleh Prof. Ahmad Humam Hamid sering sebut keadaan ini sebagai jalan sunyi. Tentu tidak mudah mengambil jalan sunyi ini, karena ditentukan oleh banyak hal di sekelilingnya. Menyadari kerumitan langkah ini, saya tidak tolak saat Bandar meminta saya sebagai salah satu tenaga yang membantu proses review naskah. Saya bersedia melakukannya dengan gratis. Saya membandingkan kontribusi saya bagi peradaban Aceh jauh lebih rendah dari apa yang dilakukan Bandar Publishing.
Adakah sebuah perkumpulan usaha, yang pada akhirnya sering tidak peduli dengan rugi dan laba? Untuk buku, saya yakin tidak semua ada. Bisa jadi keuntungan akan didapat dari banyak bidang usaha yang lain. Dalam urusan buku, belum tentu. Mereka yang berpengalaman dengan buku, pasti memahami urusan ini.
Saya menyadari sudah mulai muncul perkumpulan yang mengkolaborasi kepentingan mencari untung dengan berbagi –atau bahkan ikut dalam perjuangan memartabatkan manusia dalam arti luas. Saya tidak memiliki rekaman yang detail tentang ini, kecuali hanya sejumlah lembaga swadaya dan badan usaha, salah satunya perkumpulan teman-teman saya yang bernama Bandar Publishing.
Mereka memilih jalan tidak biasa, yakni membantu banyak orang menerbitkan karyanya, saat bisnis buku sedang lesu. Bagi saya ini menarik. Bahkan buku-buku berkualitas namun tidak mendapat respons publik, bahkan sering ditangani dan diterbitkan. Walau mereka juga mulai menjajaki pasar. Semua buku dicari gambaran penerimaannya bagi publik, namun kepentingan itu tidak lebih penting dari masukan para reviewer tentang penting atau tidaknya substansi buku.
Tidak semua orang mau berpeluh keringat dalam urusan selain bisnis. Emang ada urusan apa dengan orang lain? Namun Bandar mematahkan sebagian anggapan itu. Rasanya bukan pada posisi tidak penting untuk mendapatkan untung, namun orientasi untung tidak melupakan banyak orang lain yang potensial perlu diperhatikan.
Jalan sunyi ini dengan susah payah dipilih. Saya kira sulit membayangkan seseorang ikut secara total dalam urusan perbukuan. Maka sejak awal, kehadiran Bandar mewakili kerja-kerja semibisnis dalam memfasilitasi banyak buku yang sudah diterbitkan. Seperti sejumlah lembaga yang menjadi penerbit, aktivitas menerbitkan buku juga tidak selalu lancar.
Berbagai hal menjadi kendala. Pengalaman mengelola beberapa lembaga, seperti Lapena yang juga pernah ikut menerbitkan buku, ada sejumlah hal yang berat. Saya mendapatkan sekilas gambaran yang kurang lebih sama dari teman-teman Aneuk Mulieng Publishing dan Tikar Pandan. Forum yang lain, seperti Forum Lingkar Pena dan lembaga-lembaga yang menerbitkan buku secara swadaya, akan berhadapan dengan pertanyaan yang sama: bagaimana mendapatkan modal untuk memproduksi buku sebanyak-banyaknya.
Saya yakin, mereka yang punya pengalaman, merasakan hal yang sama: susahnya menjual buku. Saat teknologi lain berkembang pesat, buku bisa dibaca dan diakses melalui layar telepon sentuh, membuat buku cetak, sudah tidak lagi menjadi perhatian utama.
Untuk penerbit di daerah, ada hal lain yang dirasakan. Tidak semua memiliki akses yang bagus dengan jaringan jual-beli buku –alasan ini yang membuat banyak buku dari penulis di daerah, tidak tersalur secara layak dan lebih luas. Tantangan edar juga ditentukan pada modal yang tersedia. Buku yang cetak terbatas, tidak mungkin memilih jalan ini.
Semua penerbit di daerah merasakan hal yang sama. Ada sejumlah penerbit membina hubungan khusus dengan sejumlah pihak. Menyediakan buku-buku untuk kepentingan pengadaan, bisa jadi menarik, namun tetap saja modal yang harus ditanggung dalam waktu yang lama.
Dengan keadaan begitu rupa, ada yang eksis dan tidak sedikit harus gulung tikar. Sedikit diantara yang eksis itu adalah Bandar Publishing. Saya tidak ingin membahas lebih jauh tentang Bandar, karena ia digerakkan oleh suatu organisasi dengan sumberdaya yang beragam di dalamnya. Saya hanya ingin satu sosok penting yang memberi warna dan kecerahan wajah Bandar hingga akhir-akhir ini. Mukhlisuddin, anak dari Teungku Ilyas Taib (almarhum) dan Cut Hurriah Ilyas.
Mukhlisuddin ini menjadi satu fenomena bagi saya yang saya akrab setelah tsunami. Akhir tahun 2003, setelah status darurat militer diperpanjang, saya berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan magister hukum. Waktu itu, kuliah tidak bisa dilanjutkan karena ketiadaan biaya.
Sewaktu di Jakarta, saya dibantu Mustafa Ismail dan Fikar W. Eda dalam urusan diskusi dan menulis. Untuk bekerja, teman saya, Muhammad Insa Ansari merekomendasi saya waktu untuk bekerja sambil belajar pada kelompok-kelompok diskusi di Depok.
Saat pulang ke Aceh dalam suasana tsunami, kami mulai berkomunikasi dengan intens. Sebelumnya, ia hanya membaca opini yang saya tulis, terutama yang dimuat Harian Serambi Indonesia.
Saya harus ceritakan dari awal ada sesuatu yang berbeda Mukhlisuddin dengan banyak anak muda yang lain. Ia harus bangkit dari awal, karena orang tuanya sudah lebih dahulu meninggal dunia. Tidak seperti kebanyakan kita yang tidak memiliki tanggung jawab lebih. Bayangkan, ia lahir tanggal 16 Februari 1981, lalu bekerja keras tidak hanya membesarkan dirinya, melainkan sejumlah adik-adiknya.
Mereka berdiam di Lueng Keubeue, Samalanga. Sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, dilakoni di Samalanga. Ia termasuk yang berpikir cerdas, saat mau melakoni pendidikan menengat atas di Dayah Jeumala Amal, Lueng Putu. Orang yang merantau lebih awal, biasanya memiliki energi lebih besar dari orang-orang yang sebayanya. Dan itu saya kira dibuktikan oleh Mukhlisuddin.
Selepas dari Fakultas Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry, ia melanjutkan pendidikan magister manajemen pendidikan di FKIP Universitas Syiah Kuala. Dalam masa sulit, ia tidak berhenti. Perjuangan itu memang tidak enak dan akan mengeluarkan keringat. Dengan kondisi yang agak ketat, ia menyelesaikan doktor pada program doktor pendidikan Universitas Negeri Medan –suatu jalan yang jarang dipilih oleh mereka yang tidak mau bertarung.
Sudah lama ia terlibat dalam kegiatan tulis-menulis, aktivitas sosial, dan lembaga swadaya masyarakat. Hal ini menjadi bekal bagi dirinya untuk berhubungan dan berinteraksi dengan banyak orang.
Mereka yang sudah mulai menulis juga dibina hubungan. Seingat saya, anak muda ini beberapa kali ikut dalam kegiatan yang saya isi –terkait dunia tulis-menulis. Dalam sejumlah forum, saya masih ingat ia bercerita bagaimana penasarannya ia pada orang-orang yang produktif menulis.
Penasaran itu yang kini sudah dicapai jawabannya, setelah ia juga menjadi bagian penting sebagai penulis dalam satu dekade terakhir. Dulu kepada saya ia bercerita, lama mencari karena membaca tulisan-tulisan saya yang muncul di halaman opini Serambi Indonesia. Namun pelan-pelan, ia juga memiliki banyak opini yang dimuat di sana.
Proses yang kami lakukan mungkin sama saja, membiarkan kami berkompetisi secara bebas dengan penulis lain yang mengirimkan opininya ke Serambi. Waktu itu, kami tidak mengenal redaktur yang menggawangi rubrik opini. Namun beberapa kali, saya yang mengirimkan opini yang di bawah standar, tetap diberikan masukan-masukan.
Ternyata di luar itu, Mukhlisuddin sebagai salah satu yang sering meminta koreksi ketika ia merasakan ada sesuatu yang kurang. Begitulah orang-orang melihat apa yang dilakukan orang lain, terutama saat produktivitas saya sedang berada di kurva atas. Saya menulis dua tulisan perminggu. Selain untuk halaman opini, saya juga menulis beberapa kali untuk kolom budaya.
Produktivitas ini yang diakui Mukhlisuddin Ilyas sebagai unsur ketertarikan terhadap apa yang saya lakukan. Menurutnya sulit menemukan anak muda Aceh yang mau dan produktif dalam menulis. Sebagian mereka yang kualitas tulisannya bagus, kenyataannya hanya menulis saat ada kebutuhan tertentu saja.
Saat ia juga semakin produktif, matanya ternyata lebih liar dari saya. Ia memandang lebih jauh, yakni memanfaatkan opini untuk buku. Saat ia meluncurkan buku Aceh dan Romantisme Politik, saya diundang khusus. Acara dilaksanakan di Pustaka Masjid Raya. Waktu itu yang membicarakan bukunya adalah senior saya, Saifuddin Bantasyam. Ada hal menarik yang saya ingat pengakuannya waktu itu. Ia menggunakan emas istrinya yang seorang guru untuk membiayai produksi dan cetak bukunya.
Hingga sekarang ingatan saya masih berbekas. Barangkali tekad yang didukung oleh semangat yang kuat, butuh perjuangan yang tidak biasa. Jadi jangan bayangkan Bandar seperti yang sekarang. Ia merintisnya dari jalan tertatih. Dan ada masa saat semuanya berbuah manis.
Sebuah perjuangan dan memilih jalan sunyi melalui pilihan yang tidak biasa. Jalan untuk terlibat dalam pembangunan mental dan peradaban, tidak mampu dan mau dilakoni banyak orang. Mukhlisuddin telah memilih jalan sunyi ini.
Saya berharap energi ini terus menyebar dan mengembang bagi banyak generasi milenial.