Sekali lagi –karena sudah pernah saya tulis—puasa itu urusan hati. Orang yang tidak berpuasa, bisa berlagak sangat lemas melebihi mereka yang berpuasa. Orang yang di belakang layar bisa melakukan apapun, namun di depan manusia bisa melakoni apapun. Lantas apa yang membuat seseorang bisa atau tidak melakukan sesuatu yang manipulatif terhadap manusia?
Saya membayangkan ini adalah urusan hati. Semacam kita berbicara mentalitas, yang harus menyatu antara fisik dan mental. Orang yang berpuasa, saat memilih benar-benar berpuasa, tidak melibatkan fisik, melainkan sudah menyatukan mentalnya dalam urusan itu.
Atas dasar itulah, kita membutuhkan penataan terhadap inti dari kekuatan untuk membangun mental, yakni hati. Perlu ditata karena puasa yang paripurna harus melibatkan semua energi positif dalam diri kita sebagai manusia. Tujuan akhir mencapai kualitas puasa yang paripurna, dimungkinkan dengan menjaga diri dari berbagai hal yang membuat kita tergoda.
Orang-orang yang berada di berbagai tempat, memiliki pengalaman yang berbeda saat puasa. Beberapa kali puasa, saya tidak sepenuhnya berada di daerah saya sendiri. Di daerah lain, tidak semua sama dengan daerah kita. Terutama dalam hal bagaimana warung-warung makan tetap buka seperti biasa. Berbeda di tempat kita, karena hanya sedikit orang yang tidak berpuasa. Masalahnya adalah ketika makanan tidak saja dijajakan untuk mereka yang tidak berpuasa, melainkan turut serta dijual untuk orang-orang yang wajib berpuasa. Bisa jadi ada orang yang akan mempertanyakan bagaimana mereka yang tidak wajib berpuasa untuk mengakses makanan. Tentu hal ini bukan sesuatu yang sulit. Tidak bisa disederhanakan masalah, seolah konteks akses makanan bagi mereka yang tidak wajib berpuasa, lantas membebaskan warung buka saja.
Pengalaman saya ketika berada di tempat lain. Ketika pagi berangkat dari rumah menuju tempat saya kuliah dulu, saya sudah sering melihat orang-orang yang makan atau minum. Di tempat ini, banyak warung yang buka, dengan berbagai alasan. Tidak semua warung menutupinya dengan sesuatu. Bahkan sejumlah warung sangat terbuka. Apakah yang makan di sana semua orang yang tidak wajib berpuasa? Ternyata tidak juga. Selain makan dan minum, saya juga sering melihat orang merokok secara bebas. Orang yang merokok itu, juga tidak semuanya mereka yang tidak wajib berpuasa. Suasana ini sama ketika saya pulang dari tempat kuliah, di sebuah kedai pinggir jalan yang menjual berbagai minuman dingin, siang atau sore juga banyak anak muda yang menjadi pelanggan. Barangkali di antara mereka, ada juga yang memiliki kewajiban seperti kewajiban kita. Tetapi sebagian memang bukan orang yang diwajibkan melaksanakannya.
Keadaan lain, ketika saya melakukan sejumlah perjalanan, karena ada suatu kepentingan. Sebenarnya bukan perjalanan jauh. Dengan durasi empat jam per perjalanan, bagi saya bukanlah perjalanan yang jauh. Dalam setiap perjalanan, juga demikian. Tiap naik maskapai, setelah lampu tali keselamatan padam, sudah datang pramugari yang membawa berbagai makanan. Untuk perjalanan pendek biasanya hanya diberikan beberapa potong kue. Akan tetapi perjalanan yang lebih dua jam, akan diberikan nasi atau mie. Sebelum diberikan, khusus pada bulan ini, ada pertanyaan terlebih dahulu. Pertanyaan pertama, apakah mau menggunakan fasilitas makan atau tidak? Pertanyaan kedua, apakah mau makan di sana atau dibungkus?
Ketika dalam perjalanan, teringat sebuah fasilitas pengecualian. Beriring dengan itu, saya juga ingat hal lain, bahwa hanya sejauh itu perjalanan, apakah semua fasilitas pengecualian puasa harus atau dapat diambil? Bagi saya terlalu menyederhanakan masalah bila perjalanan satu jam pun sudah mengorbankan kewajiban yang hakiki. Jangan sampai bepergian hanya satu jam, lantas menyamakan berbagai fasilitas yang diberikan. Orang yang dalam perjalanan lalu ditafsir boleh memakai pengecualian itu. Belum lagi pertanyaan yang lebih dalam, menyangkut mengenai hal apa kita melakukan perjalanan tersebut. Jangan-jangan untuk sesuatu yang tidak lurus. Jangan-jangan untuk hura-hura. Sesuatu yang batil. Tentu untuk sesuatu yang tidak lurus, menurut saya tidak pada tempatnya menggunakan pengecualian.
Akan tetapi mengapa penting atau tidak menggunakan fasilitas itu, bisa jadi masalah lainnya. Bagi saya yang menarik, ada fenomena lain, bahwa apakah Anda akan tergoda hanya karena ada orang yang sedang makan? Mungkin ada alasan tertentu yang membuat seseorang tidak bisa berpuasa? Lalu karena ada sejumlah layanan yang diberikan maskapai, lalu mengorbankan sesuatu yang lebih penting?
Lagi-lagi, ada dua hal lain yang juga tidak boleh disederhanakan. Pertama, orang makan, karena berbagai alasan, bukan berarti boleh tidak menghargai orang yang sedang menunaikan kewajiban ini. Kedua, mengapa untuk yang demikian, tidak boleh diatur ketertibannya, terutama untuk daerah-daerah khusus. Daerah tersebut memiliki andil penting agar sesuatu yang mungkar tidak dikampanyekan. Sesuatu yang melawan kewajiban tidak kemudian malah menjadi sesuatu yang harus dipuja-puja. Dalam melaksanakan kewajiban ini juga ada konteks untuk melindungi satu sama lain.
Saya teringat bagaimana satu televisi memberitakan secara berlebihan dan negatif perihal pengaturan ketertiban tersebut. Barangkali bagi televisi yang demikian, menghargai orang yang tidak wajib berpuasa adalah dengan membuka warung dimana-mana. Lantas jika tidak dibuka warung secara bebas, akan dianggap sebagai tidak menghargai orang yang tidak menjalankan kewajiban ini. Bagi saya ini keliru.
Namun sebagai catatan, kita yang berpuasa juga harus menahan diri. Kita harus ingat tujuan puasa itu sangat paripurna. Seseorang tidak hanya menggantungkan harapan pada fisik. Kita harus melampaui dari sekedar fisik. Puasa kita harus memiliki tujuan perbaikan mental kita sebagai manusia.
Dengan puasa, seyogianya akan ada banyak perubahan dalam diri manusia. Logika membangun mental, seyogianya menjadi alasan orang bisa berubah ke arah yang lebih baik. Semoga.