KAMI sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), mendapat surat peringatan lebih awal. Isinya adalah semua ASN agar masuk lebih cepat pagi ini. Tanggal 2 Januari 2020. Dalam surat malah disebut agar sudah ada di kantor sebelum jam 8 pagi.
Perintah ini sangat terkait dengan keadaan yang selama ini berlangsung. Para ASN sering menambah jadwal libur. Apalagi kalau hari libur berada pada posisi hari terjepit, biasanya hari libur akan bertambah dengan mudah.
Hari awal masuk kerja, sering tidak bisa tepat. Ironisnya perintah para ASN untuk masuk kerja tepat waktu, ditakutkan dengan ancaman pemotongan berbagai macam tunjangan. Ada mental yang sudah tergerus dan aus. Kita sudah tidak merasa masuk kerja sebagai kompensasi dari hak yang sudah diterima. Untuk mendapatkan hak yang berlipat, masih ditambah lagi dengan melibur-liburkan diri pada hari awal kerja.
Saya ingin melihat dalam sudah pandang lain, yakni soal bagaimana mentalitas kita dalam melihat kewajiban. Pengalaman selama ini, adalah: (1) tingkat kehadiran pada hari-hari pertama kronis; (2) orang yang harus hadir untuk menjalankan kewajiban, justru dipaksa dengan ancaman pemotongan berbagai tunjangan.
Kondisi ini miris sekaligus menyedihkan, paling tidak karena dilihat dari tiga alasan. Pertama, kita sebagai ASN yang sudah menerima hak utama dengan tepat waktu, ternyata sebagian kita masih mengolah-ngolah agar kewajiban bisa diundur-undur.
Kedua, untuk meminta kita tepat waktu terkait pelaksanaan kewajiban, karena kita sudah menerima hak, justru harus menggunakan tenaga lain yang melakukan razia, dan semacamnya. Kita menyaksikan hari-hari awal setelah libur, Satpol PP-WH begitu sibuk ikut para pejabat untuk melakukan inspeksi mendadak ke tempat-tempat tertentu untuk melihat secara langsung ASN yang hadir di kantornya.
Ketiga, pengalaman sebelumnya, kejadian ini terjadi hampir semua daerah. Bahkan Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi, sering terlihat razia untuk menertibkan para ASN yang tidak tepat waktu.
Plus ngopi
Selain menambah libur, hal lain yang sering tampak adalah ngopi pada jam dinas. Bahkan fenomena ngopi bisa saja saja terlihat hari Senin dan waktu pagi. Bisa dibayangkan, hari Senin dan pagi hari sebagai suasana yang seyogianya sedang fresh, orang tidak betah di kantor. Logikanya, apalagi saat jam sedang tidak fresh.
Kebiasaan `ngantor’ di warung kopi, sesungguhnya bukan hanya dilakukan oleh oknum pegawai kantor semata. Tidak jarang, kondisi tersebut juga terjadi di banyak tempat pelayanan publik lainnya, misalnya di sekolah atau kampus. Beberapa waktu yang lalu, marak diberitakan mengenai kelesuan semangat dari warga kampus. Pasalnya banyak staf pengajar dikabarkan jarang masuk. Apalagi setelah era perhitungan kompensasi remunerasi yang sesuai ekspektasi akhir-akhir ini.
Saya kira hal tersebut menjadi sangat penting diperhatikan. Fenomena ini adalah cermin retak yang saya kira juga terjadi tidak hanya di Aceh pada umumnya, tapi sebagian besar wilayah Indonesia. Beberapa daerah yang dipimpin oleh orang-orang progresif, sudah mulai ketat melakukan penataan.
Mereka rutin melakukan inspeksi mendadak. Nomor kontak secara langsung dibuka akses. Keluhan dapat disampaikan secara langsung, dan atas keluahan itu dilakukan penelusuran ke lapangan. Orang-orang yang tidak ditemukan di kantor–terutama kantor yang sangat vital–akan langsung mendapat sanksi.
Pola tersebut masih jarang dilakukan di tempat kita. Inspeksi mendadak biasanya hanya menjadi pekerjaan rutin ketika masuk setelah libur. Atau ketika masa tenggat pelaksanaan proyek. Setelah waktu tersebut, suasana kembali seperti semula.
Membahagikan publik
Membutuhkan pola progresif untuk mengubah peta pelayanan publik. Kita sebagai orang-orang yang melayani publik–dalam semua sektor–seyogianya harus berfikir bahwa apa yang dilakukannya tidak semata-mata karena memang tugas. Harus ada orientasi yang diubah, yakni apapun yang dilakukan, semuanya untuk membahagiakan masyarakat yang dilayaninya.
Seandainya menjadikan berita media sebagai alat ukur, maka selama ini sangat kecil gugatan terhadap kualitas pelayanan. Masyarakat sebagai pihak yang seharusnya dilayani, jarang melakukan gugatan atas pelayanan yang diterimanya, karena berbagai faktor. Akhirnya, masyarakat sendiri menerima saja hal tersebut sebagai sebuah kewajaran.
Beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat berdiam, antara lain karena sering malah membuat masalah baru ketika orang mempermasalahkan kualitas pelayanan publik. Mereka akan dituduh sebagai penyebar fitnah, atau malah bisa-bisa dituduh melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan pihak lain.
Pihak yang digugat kualitas pelayanannya sering tidak ikhlas. Seyogianya kita melakukan refleksi dan mau berbesar hati untuk menerima demi menyempurnakan pelayanan yang diberikan di masa mendatang.
Kondisi ini belum seutuhkan bisa diterima karena memang bangunan mentalitas kita yang masih rapuh. Dalam hal ini, mentalitas yang dimaksudnya adalah cara berfikir dalam menghadapi kondisi tertentu. Cara berfikir ini terkait dengan harapan akan melakukan sesuatu. Maksudnya seseorang yang memberikan pelayanan, ditempatkan sebagai apa pelayanan tersebut.
Ada orang yang menempatkannya sebagai kewajiban, lalu bila tidak dilakukan akan mendapatkan sanksi. Ada orang yang di samping sebagai kewajiban, ia juga berfikir bahwa haram memakan hak bila kualitas kewajiban tidak optimal diberikan.
Di samping itu, pada derajat tertinggi, ada orang yang berfikir bahwa selain melakukan kewajiban demi menggapai tingkat kehalalan haknya secara paripurna, ia juga ingin membahagiakan orang banyak.
Orang-orang yang berfikir bahwa tugasnya sebatas memberikan pelayanan karena sudah dibayar gaji, ditambah akan ada sanksi bila tidak melakukannya, itu sangat minimal.
Konsep tersebut sangat normatif. Seyogianya kita tidak berhenti di situ. Pelayanan yang kita berikan tidak sebatas karena kita memang digaji dan akan mendapat sanksi bila tidak melakukannya. Namun pelayanan tersebut berkaitan dengan kesejahteraan yang kita ingin memberikannya kepada orang banyak.
Karena niat untuk memberikan kesejahteraan dalam konteks luas, maka orang-orang akan mampu bekerja sambil tersenyum. Orang-orang yang ingin mendapatkan pelayanan, akan selalu ditunggu dengan wajah yang berseri-seri.
Orang yang berfikir bahwa melayani orang lain harus bisa membahagiakan, adalah sebentuk pelayanan yang harus diberikan secara utuh. Inilah mentalitas. Ketika kita belum sampai ke kantor, merasa gundah dan bertanya-tanya, bagaimana bila sudah ada orang yang membutuhkan pelayanan kita. Mentalitas seperti inilah yang harus direkonstruksi.
Mudah-mudahan mulai 2020 ini, apapun yang kita lakukan, dilakukan dengan semangat penuh kebahagiaan. Semua melakukan tugas dan kewajiban, disertai rasa ingin selalu membahagiakan orang banyak.