Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Sulaiman Tripa, Penulis Superproduktif dari Aceh, https://aceh.tribunnews.com/2024/04/17/sulaiman-tripa-penulis-superproduktif-dari-aceh.
Oleh: Ihan Nurdin, jurnalis dan Wakil Sekretaris Forum Aceh Menulis (FAMe), melaporkan dari Banda Aceh
SUDAH tengah malam ketika pesan dari Sulaiman Tripa (ST) masuk ke ponsel saya, Senin (1/4/2024). Isinya undangan menghadiri peluncuran buku dirinya yang direncanakan berlangsung esok hari di Cafe A&R Lamgugob. “Mohon kehadirannya. Mohon juga konfirmasi jika memungkinkan berhadir.” Demikian penggalan pesan tersebut dan saya balas dengan ucapan terima kasih.
Insyaallah saya hadir. Ini undangan istimewa. Bukan kali pertama saya mendapatkan undangan serupa. Tahun lalu, di tanggal yang sama saya juga menghadiri kegiatan yang sama di tempat yang sama.
Pada Selasa (2/4/2024), bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-48, ST meluncurkan bukunya yang ke-212. Angka yang cantik. Selain mengingatkan pada gerakan 212, angka ini juga langsung mengingatkan kita pada karakter Wiro Sableng yang identik dengan kapak maut naga geni 212. ‘Fun fact’ ini menjadi guyonan ketika Direktur Bandar Publishing, Mukhlisuddin Ilyas, selaku pihak penerbit buku membuka seremonial peluncuran buku.
Baca juga: Buku Jenderal Sigit Diluncurkan, Kapolres Aceh Tamiang Orang Pertama yang Menerima
Berbeda dengan yang sudah-sudah, kali ini hanya satu buku yang diluncurkan. Judulnya menggelitik yaitu Merdeka Belajar Tanpa Belajar Merdeka. Buku ini berisikan 48 esai ST tentang tridarma perguruan tinggi dan diterbitkan Bandar Publishing. Sejumlah teman dan kolega ST hadir dalam peluncuran buku tersebut, di antaranya, Fuad Mardhatillah dan Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA) dari UIN Ar-Raniry. Ada Azhari Yahya, Khairulyadi, dan Adli Abdullah dari Universitas Syiah Kuala (USK). Dari kalangan jurnalis terlihat Adi Warsidi, Joe Samalanga, Husaini Nurdin, dan Habil Razali.
Peluncuran buku diawali dengan penyerahan pigura berisikan poster kegiatan dari Fuad Mardhatillah kepada ST selaku penulis. Selanjutnya, Mukhlisuddin yang merangkap sebagai pemandu acara meminta kesediaan beberapa rekan ST untuk memberikan testimoni. Kegiatan ini diakhiri dengan buka puasa bersama.
Konsisten menulis
Saya datang 45 menit lebih awal dari waktu yang ditentukan. Tujuan saya cuma satu, supaya bisa mengobrol dengan penulisnya. Mengorek satu dua “rahasia” yang mungkin bisa menjadi inspirasi saya untuk mengikuti jejak ST. Walaupun, rahasia-rahasia itu sudah sering disampaikan ST dalam berbagai forum kepenulisan. ST menjadi buah bibir karena keunikannya merayakan ulang tahun. Jika orang-orang merayakannya dengan memotong kue dan meniup lilin, ST justru merayakannya dengan meluncurkan buku-buku hasil karya intelektualnya sebagai akademisi. Karya-karya yang berisikan kegelisahan dan kritik-kritik sosial.
Yang fantastis adalah peluncuran buku saat ulang tahunnya ke-43 pada 2019 lalu. Sebanyak 44 buku ia luncurkan sekaligus. Sampai-sampai, Rektor USK saat itu, Prof Samsul Rizal, menyebut ST sebagai orang yang langka. Peluncuran tersebut bahkan bisa diusulkan untuk mendapatkan rekor MURI. Satu yang mungkin menjadi pertanyaan publik, kok bisa setiap tahun meluncurkan buku? Dari mana idenya? Bagaimana mengatur waktu? Jawabannya adalah konsistensi.
Ya, ST menulis seperti kita makan. Tak ada waktu yang terlewat sehari pun. Ia rutin menulis setidaknya 400—600 kata sehari. Di laptopnya, ia membuat folder khusus untuk menyimpan tulisan-tulisannya. Setiap judul tulisan diberi kode sesuai dengan jumlah hari. Dari Januari hingga Desember. Dari hari ke-1 hingga hari ke-365. Ia juga rajin menulis di blog dan mengelola sulaimantripa.com untuk membagikan isi kepalanya kepada khalayak.
Merayakan ulang tahun dengan meluncurkan buku-buku baru juga sudah dilakukan nyaris dua dekade. “Sejak tahun 2007 saya sudah melakukannya. Tapi tidak selalu di Aceh, dulu-dulu terkadang di Jakarta, terkadang juga bersama dengan D Kemalawati dan Helvy Tiana Rosa karena tanggal lahir kami sama,” kata penerima Anugerah Sastra Pemerintah Aceh dan Satya Lencana Sarakata (2008) dan Penghargaan Sastra Balai Bahasa Aceh (2009) ini.
Sebelum fokus dan konsisten menulis esai seperti sekarang, ST mengawalinya dengan menulis cerita-cerita fiksi. Di masa konflik ia banyak membuat catatan-catatan tentang berbagai peristiwa memilukan yang terjadi di Aceh. Salah satu cerita fiksinya tentang konflik memenangi lomba yang dibuat oleh majalah Femina. Namun, ia mengaku kalau peruntungannya justru berada di jalur nonfiksi. Almarhum Ampuh Devayan pernah menasihatinya untuk “pindah jalur” saja dari fiksi ke nonfiksi. ST mengikuti saran tersebut. Ampuh dianggap sebagai salah seorang yang memberikan ruang bagi kreativitas ST sehingga karya-karyanya sering muncul di Serambi Indonesia. Hasilnya seperti yang kita lihat sekarang. ST berkembang dan dikenal sebagai seorang penulis superproduktif di Aceh. Mungkin juga di Indonesia.
ST mulai menekuni dunia tulis-menulis sejak menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum USK. Pada 1997, di tahun-tahun awal menjadi mahasiswa, ia sempat berbicara dengan alm. Abdullah Ali yang menjabat sebagai Kabag Humas di Biro Rektorat USK.
“Apa yang bisa saya kerjakan untuk mendapatkan penghasilan tambahan?” tanya ST pada Abdullah Ali. Kiriman orang tuanya di Pante Raja tak sampai seratus ribu setiap bulannya. Ia perlu uang tambahan. Permintaan itu disahuti positif oleh Abdullah Ali. Ketika Humas USK membuka lowongan untuk jurnalis Warta Unsyiah yang dikelola oleh Yarmen Dinamika, ST melamar dan lolos sebagai reporter. Itulah titik baliknya sebagai seorang penulis. Dalam perjalanannya sebagai reporter kampus, dan berkat interaksinya dengan Yarmen, tidak hanya keterampilan menulisnya yang terasah, tetapi juga mendapat kesempatan sebagai tim inti penulis pidato rektor. Bersama Yarmen pula, ST turut terlibat dalam penulisan buku 40 Tahun Universitas Syiah Kuala yang dibuat semasa Rektor Dayan Dawood. Kelak, ketika USK menerbitkan buku 58 dan 60 tahun, ST dan Yarmen tetap menjadi penulisnya.
Ubud Writer Festival dan Majelis Sastra Asia Tenggara turut menemani perjalanannya sebagai penulis. Jurnal Kanun Ilmu Hukum USK yang dikelolanya selama lima belas tahun berhasil diantarkan hingga mencapai Sinta 2.
Role model
Sulaiman Tripa ibarat anomali. Untuk saat ini tampaknya belum ada seorang pun di Aceh yang sanggup menyaingi produktivitasnya dalam menulis. Sahabat dan koleganya di Fakultas Hukum, Adli Abdullah, mengatakan kalau potensi besar dalam diri ST telah terlihat sejak ia masih muda. “Penerawangan” itulah yang membuat Adli menyarankan agar ST berkarier sebagai akademisi saja. Dengan demikian, potensinya bisa terus tergali dan dikembangkan. Soal produktivitas ST menulis, Adli mengatakan, “Sira geuduek-duek ditubiet buku.” Sebagai wujud dukungan dan apresiasinya pada sang sahabat, Adli yang dua hari sebelumnya masih berada di Sulawesi pun dengan senang hati pulang ke Aceh untuk menghadiri peluncuran buku tersebut.
Sementara KBA, mengatakan banyak hal positif yang bisa dilihat dan diambil dari sosok ST. Ia tak hanya produktif untuk dirinya sendiri, tetapi juga bisa menjadi ikon atau ‘role model’. Karena selain menulis, ST juga senang berbagi ilmu. Ia tetap rendah hati. Masih mau mengisi kelas-kelas menulis tak berbayar.
“Karena orang yang bisa dijadikan inspirasi adalah orang yang berkarakter. Karakter inilah yang melekat pada Sulaiman Tripa,” katanya.