Ada pertanyaan sederhana yang sepertinya hingga sekarang belum terjawab hingga tuntas. Para ahli hukum, menyebut begitu banyak konsep hukum yang muncul, dan itu sebagai sesuatu yang sangat alamiah. Apalagi hingga kini, para sarjana hukum masih meyakini bahwa jika dua sarjana hukum bertemu dan membahas sesuatu, akan tidak ada pendapat tentang itu.
Sebagai sebuah istilah, hukum tentu saja tidak bisa lepas dari ruang hidupnya. Orang memahami sangat tergantung dari bagaimana era sekelilingnya merasakan kebutuhan hukum dalam ruang sosial. Makanya dalam setiap era melahirkan cara berpikir hukum yang khas. Menurut pada peneliti asal muasal hukum kemudian, cara orang berpikir hukum selalu tidak lepas dari zamannya.
Dengan berbagai ruang realitas, maka konteks memperdebatkan apa itu hukum, tidak pernah kehilangan panggungnya. Debat tentang hukum, sudah lama sekali berlangsung. Bahkan sejak Plato dan Aristotoles. Penyederhanaan hukum yang dibaca sekarang, sudah dilalui dalam rentang berbagai debat tentang hukum itu. Untuk menjawab ini, lalu para filsuf mencoba mengkotak-kotak cara melihat. Ada titik pandang yang masing-masing ditentukan oleh mereka yang ingin memperjelasnya dari sisi tertentu. Tujuannya hanya satu, ingin memperjelas bahwa apakah yang dinamakan hukum itu?
Mereka yang berdebat ketika menjadi pengguna dan pemberi nasihat hukum, lalu menyimpulkan tidak masalah dari mana kita melihat hukum. Bahasa yang keluar, seperti saya sebut di atas, adalah ketika dua sarjana hukum bertemu, maka pendapat yang lahir minimal tiga. Para ahli mengklaim tidak ada yang salah dengan stand point semacam ini. Dianalogikan kepada seseorang yang terbatas indera penglihatan, ketika memegang seekor gajah. Ia tidak bisa membayangkan gajah secara utuh, melainkan dari sebesar apa yang bisa dipegangnya saja.
Dari mana mereka memandang, akan berbeda pemaknaan mengenai apa hukum itu. Di Indonesia, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto termasuk yang berjasa untuk mengonkretkan fenomena apa itu hukum, melalui sembilan arti hukum, yakni: hukum sebagai ilmu pengetahuan; hukum sebagai disiplin; hukum sebagai kaidah; hukum sebagai tata hukum; hukum sebagai petugas; hukum sebagai penguasa; hukum sebagai proses pemerintah; hukum sebagai sikap tindak atau perilaku; hukum sebagai jalinan nilai-nilai (Purbacaraka & Soekanto, 1982).
Bukankah ketika pertanyaan apa itu hukum masih meraba, maka implikasi penegakan hukum juga demikian? Dalam satu artikelnya, dengan mengutip Indonesian Corruption Wacth, Mahfudz Ali menyebutkan, penegakan hukum di Indonesia dapat diibaratkan bagai menegakkan benang basah. Law enforcement hanya slogan dan retorika. Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa hukum bukan lagi jalan bagi keadilan, melainkan sudah identik dengan uang (Ali, 2004).
Saya ingin kembali ke proses pemaknaan, yang terjadi selain perbedaan era, ada juga perbedaan tempat. Posisi hukum di suatu negara, memunculkan perbedaan pendapat antara berbagai aliran pemikirnya. Sebagian percaya bahwa ketika sesuatu dikitabkan dalam kitab undang-undang, maka apa yang dikitabkan itu dianggap sebagai cermin dari norma-norma dalam masyarakat yang dipositifkan. Norma-norma ini sendiri sebagai wakil dari wajah tradisi dan moral masyarakat, yang kemudian dipositifkan ke dalam bentuknya yang formal dan baru sebagai teks undang-undang. Dalam istilah ilmu hukum, disebut ius constitutum. Untuk yang berpendapat demikian, maka apa yang disebut sebagai hukum persepktif realitas sesungguhnya tidak ada, karena semua realitas itu sudah terwakili dalam teks undang-undang yang dikitabkan. Maka kesimpulan pihak ini adalah law is society. Pihak satu lagi, beranggapan bahwa law is not (always) society. Hukum undang-undang sebagai teks tidaklah selamanya sama dan sebangun dengan realitasnya dalam konteks sosial-kultural (Wignjosoebroto, 2013).
Sementara apa yang diungkapkan Mahfudz Ali di atas, tidak semua orang juga sependapat. Ruang-ruang sosial, juga dimakna secara berbeda. Tidak semua orang sependapat dengan itu, terutama mereka yang meyakini dengan kredo hukum, fiat justitia ruat coeleum (hukum harus ditegakkan walau langit runtuh). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kredo berarti pernyataan kepercayaan (keyakinan).