Selama ini, saya beberapa kali membaca proposal tesis mahasiswa yang dengan mengutip teori kepastian hukum yang diklaim sebagai gagasan Gustav Radbruch. Saya mendapatkan narasi, rata-rata berasal dari bagaimana para penulis-penulis artikel jurnal menguraikan tentang pikiran Radbruch ini.
Saya sendiri tidak begitu mengenal mendalam tokoh positivisme hukum ini. Pertama sekali saya baca dalam buku Ilmu Hukum Satjipto Rahardjo, yang menyebut gagasan Radbruch dengan konteks nilai dasar hukum (Rahardjo, 2006). Selain Satjipto Rahardjo, saya menemukan sejumlah tulisan yang lain pada posisi tujuan hukum.
Sebagai salah satu sarjana penting dunia, Gustav Radbruch menggeluti akademisi hingga menteri kehakiman di Jerman. Ia lahir pada 18 November 1878 dan meninggal 23 November 1949. Karyanya Rechtsphilosophie (1932) menjadi salah satu rujukan dalam dunia hukum akhir abad 19.
Dalam karya Muslih, saya juga menemukan tiga nilai dasar hukum (Muslih, 2013). Menurut Muslih, negara hukum pada hakikatnya merupakan negara dalam aktivitasnya selalu didasarkan pada hukum, guna menjamin dan mewujudkan keadilan bagi warganya.
Abdul Aziz Nasihuddin, dkk, menyebut hal yang hampir sama. Menurutnya, Radbruch menyatakan bahwa dalam mewujudkan tujuan hukum, perlu digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Mengapa demikian? Karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian. Pada saat terjadi benturan, meski ada yang dikorbankan (Nasihuddin, 2024). Manullang menyebut Radbruch meletakkan keadilan dan kemanfaatan berada dalam situasi antinomis terhadap kepastian hukum (Manullang, 2022).
Berangkat dari Radbruch, saya ingin mengungkapkan betapa tujuan hukum dan nilai dasar, kadang kala dipertukarkan. Padahal dalam makna yang lebih hakiki, keduanya bisa saja ada perbedaan. Dampaknya tentu saja ketika melihat hukum dalam berhubungan (misalnya) dengan politik. Sejumlah literatur menyebut bahwa perselingkuhan antara hukum dan politik adalah suatu yang nyata. Masalahnya ketika dalihnya adalah tujuan hukum.
Paling tidak, menurut Mochtar Kusumaatmadja, ada empat tujuan utama dari adanya hukum dalam kehidupan manusia, yakni terwujudnya kedamaian, ketertiban, kepastian, dan keadilan. Keempat tujuan tersebut, seyogianya tidak saling memisahkan. Semuanya harus menyatu dan jangan dipisah satu sama lain. Sesungguhnya ada satu tujuan hukum yang sangat tinggi dalam kehidupan kita, yakni kebahagiaan. Adanya hukum, justru harus bisa membuat kita menjadi semakin bahagia. Bukan sebaliknya, hukum dijadikan alat untuk merusak kebahagiaan.
Keempat tujuan di awal, seyogianya juga bermaksud mencapai tujuan hakiki kebahagiaan tersebut. Hukum demi terwujudnya kedamaian, ketertiban, kepastian, maupun keadilan, adalah untuk pencapaian tujuan yang lebih besar, yakni kebahagiaan.
Pada tataran empiris, banyak hukum yang terlihat sebaliknya. Tataran empiris ini, tidak bisa dilepaskan dari kontestasi antar berbagai bidang yang terus berlangsung. Sebagian pemikir beranggapan, bahwa kontestasi tersebut, antara lain disebabkan kehidupan yang terus berubah.
Bila kita merunut ke belakang, ada perbedaan yang nyata pada konsep hukum yang hidup dengan hukum yang kemudian dituliskan. Proses tersebut berlangsung dalam waktu yang lama. Berkembang pemikiran apa yang awalnya disebut hukum tradisional, berupa hukum adat yang berdasarkan kearifan lokal dan berbasis nilai-nilai. Dalam kehidupan manusia, dianggap tidak bermasalah karena semua orang merasa tidak bermasalah dengan hukum yang tradisional seperti itu. Walau tidak tertulis, tapi tidak banyak sengketa. Namun semakin berkembang manusia menyebabkan mereka semakin rakus. Karena untuk menghindari adanya praktik “siapa kuat maka dia dapat” dengan kerakusannya, menyebabkan berbagai aturan harus dipersiapkan.
Ketika dunia sudah demikian berkembang ke arah modern, yang salah satunya ditandai dengan rasionalitas, seringkali dianggap bahwa hukum tidak tertulis tidak lagi mampu menangani masyarakat yang semakin modern. Karenanya, hukum tersebut perlu diganti oleh hukum tertulis yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat modern. Maka salah satu ukuran dalam hukum modern adalah ia harus tertulis sedemikian rupa, berjalan dengan logika mekanis dan keteraturan. Semua hal seolah-olah harus ditulis, karena alasan untuk keteraturan tersebut. Dari beberapa tujuan hukum (kedamaian, ketertiban, kepastian, keadilan), seolah-olah ia sudah berhenti pada tujuan keteraturan atau ketertiban. Dalam pidato guru besarnya pada tahun 2000, Satjipto Rahardjo menyentakkan kita. Katanya, Indonesia yang konon sebagai negara hukum yang penuh keteraturan, ternyata yang terlihat dalam realitas empiris adakah ketidakaturan.
Perbedaan antara tujuan hukum dengan nilai dasar hukum, bisa teresab dalam narasi di atas.