Pengalaman penting ini saya dapat sekali saja. Saat mengikuti kegiatan matrikulasi kuliah pascasarjana, seorang pimpinan mengucapkan selamat datang. Secara istilah, Kamus Bahasa Indonesia mengartikan matrikulasi sebagai “hal terdaftarnya seseorang di perguruan tinggi”. Pengalaman saya, dalam matrikulasi itu diberikan sejumlah materi perkuliahan awal atau pemantapan dari materi tertentu.
Saat matrikulasi itulah, pimpinan menyebutkan bahwa jumlah mahasiswa yang masuk dengan yang keluar, hendaknya sama jumlahnya. Lebih bagus lagi, jika mahasiswa saat mencapai finis dalam waktu yang bersamaan. Berhasil itu, menurutnya, jika semua orang berhasil selesai kuliah secara bersama-sama. Apa yang diucapkan ini, saya ingat hingga akhir kuliah. Betapa dalam kuliah pun, kita harus saling membantu, tidak boleh merasa harus mencapai dan selesai sendiri.
Setiap mengingat itu, mungkin akan membuang egoisme kita. Pernahkah Anda mendengar dalam suatu pertemuan, di antara sekelompok orang, ada seseorang atau sejumlah orang yang berperilaku menyakitkan bagi orang lain. Kita memiliki teman-teman yang sahib sejak dari kita pertama bersosialisasi. Ada yang memiliki teman yang sangat banyak, ada yang sedikit. Bahkan ada orang yang berkemampuan memiliki teman beberapa orang saja. Hingga pada level, ada mahasiswa yang hanya memiliki dua atau tiga teman saja. Jadi setiap beraktivitas terkait urusan kuliahnya, selalu mencari salah satu diantara ketiganya. Masing-masing tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mereka sendiri yang bisa merasakan, apa enaknya memiliki teman banyak, juga mengapa ada orang yang tidak mencari teman sebanyak-banyaknya. Menurut satu versi, teman yang banyak akan lebih banyak memberi efek positif dibandingkan dengan mereka yang hanya memiliki teman yang sedikit.
Begitulah. Kadang-kadang ada seorang atau beberapa orang dari teman yang kita punya, sering berperilaku yang tidak biasa. Perilaku tersebut, akan menimbulkan luka batin. Orang yang tergores hati dan tidak bisa mengikhlaskan rasa tersebut, akan berimplikasi lebih dalam dan menimbulkan emosional lain, semisal dendam. Perilaku yang demikian ada yang selalu diingat, namun ada juga orang yang berhasil melupakannya. Untuk mereka yang berhasil membuang perasaan dendam tersebut akan baik sekali, apalagi bisa memberi semacam pembelajaran batin bagi mereka yang melakukannya.
Saya diingatkan oleh seorang teman, bahwa ada tipe orang yang sukanya memang melakukan sesuatu terhadap orang lain. Ada yang akan merasakan tidur enak ketika berhasil memberi efek perilakunya terhadap orang lain, walau itu orang-orang yang sebenarnya dikenalnya. Corak menyakiti itu umumnya tidak dalam bentuk fisik. Apalagi untuk zaman sekarang, justru yang fisik itu sangat mudah dikenali dan ditentang. Sedangkan yang nonfisik, tidak semua orang bisa merasakannya. Orang melakukan sesuatu terhadap orang yang nonfisik, namun akan meninggalkan luka, juga sulit untuk diverifikasi.
Biasanya kondisi itu diawali oleh adanya perasaan selalu mau menang sendiri. Ketika bergaul dengan banyak orang, yang terpikir selalu harus kita yang menang, maka berpotensi untuk melakukan sesuatu ketika emosional kita mengatakan kita pada posisi yang kalah. Padahal dalam konteks demikian, posisinya tidak selalu pada posisi menang atau kalah. Pada tingkat kedua, sering membuat perhitungan untuk membalas apa yang dirasakan secara emosi sebagai rasa kalah tersebut.
Dua kondisi di atas, ditambah dengan tidak bisa berlapang dada, menyebabkan banyak hal negatif bisa dilakukan. Tidak bisa berlapang dada, akan memicu untuk membalas sesuatu terhadap orang lain melalui menyakiti, terutama dalam bentuk-bentuk yang nonfisik. Di sinilah orang mesti banyak belajar banyak untuk itu.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.