Tidak semua orang mau melihat hidup sebagai proses belajar. Rumus ini tidak berlaku pada semua tempat. Konon lagi dalam sejumlah momentum, istilah waktu dan tempat yang tepat sering dibolak-balik. Saat mengalami hal yang tidak mengenakkan, dikatakan sebagai “sedang berada pada waktu dan tempat yang tidak tepat”.
Hidup tidak sebagai proses. Hidup dilihat sebagai hitam dan putih, tidak ada dinamika, dan melihat orang lain sebagai sasaran. Semua ruang dan keadaan diposisikan dalam kompetisi. Pada taraf ini, tidak ada ruang untuk melihat hidup sebagai proses. Semua ruang dianggap kompetisi. Baik hal yang normal maupun yang tidak normal.
Dalam sesi kampanye pemilihan presiden satu negara, yang turut disiarkan secara langsung sejumlah televisi, ada hal yang menarik bagi saya, yakni pada masing-masing calon untuk mengungkapkan kelebihan yang dimiliki oleh calon lain. Biasanya ketika sesama calon mau bertarung, maka masing-masing calon atau para tim suksesnya, berusaha mencari celah apa yang menjadi kelemahan dari orang lain. Bahkan berbagai hal dhaif yang pernah dilakukan oleh mereka yang berkompetisi untuk mendapatkan kekuasaan, sering terbuka ketika mendekati momentum tersebut. Dalam dunia yang demikian, hal yang sering digambarkan adalah tempat dan waktu yang tepat. Ketika seseorang ditangkap karena melakukan kejahatan atau menyalahi moral tertentu, sangat sering berkilah dengan keberadaannya di tempat dan waktu yang tidak tepat.
Demikianlah, kelemahan sangat mudah ditemukan, terutama dari orang lain. Maka mereka yang akan menjadi petarung, memiliki seseorang yang akan menemukan apa yang sebenarnya menjadi kelemahan yang bersangkutan. Sampai begitunya orang untuk menemukan kelemahan dalam dirinya. Hal ini menandakan pada tingkat tertentu, tidak semua orang mampu menangkap apa yang dimilikinya sebagai kelemahan. Berbeda dengan apa yang dinamakan dengan kelebihan. Orang-orang yang menjual diri pun, sangat mengenai ketika menggambarkan apa yang menjadi kelebihan dari dirinya. Dari yang sederhana hingga yang kompleks, posisi kelebihan itu bisa dilukiskan sedemikian rupa.
Ada yang menarik dalam satu dekade terakhir, terutama perusahaan yang sedang mencari karyawan terbaik, sudah memiliki sesi bagi para calon yang mendaftar juga untuk mengungkapkan apa yang menjadi kelemahannya. Orang-orang yang akan mendapatkan kesempatan sebagai karyawan terpilih, bahkan tidak mau dan tidak mampu mendeskripsikan kelemahan dirinya. Hal ini menarik. Ada orang yang menyadari dan tahu bahwa dalam dirinya ada kelemahan. Ia juga bisa melukiskannya, namun tidak mampu melakukannya. Sebaliknya, ada orang yang mungkin mampu melukiskan, namun tidak bisa menemukan apa yang menjadi kelemahan. Kuncinya adalah mau dan mampu.
Maka mau dan mampu mendapatkan kelebihan orang lain, menampakkan sisi humanis juga. Selaras dengan mau dan mampu seseorang menemukan kelemahan dalam dirinya. Orang menyadari bahwa selalu dalam kelemahan dalam diri, tinggal saja bisa dan mampu ditemukan atau tidak. Orang-orang yang mau melihat kelemahan dirinya, akan selalu melihat kelemahan orang diri sebagai tempat belajar. Orang yang demikian, juga menganggap kelebihan dalam dirinya sebagai cobaan, yang potensi itu harus dipergunakan pada tempatnya, tidak boleh dipergunakan pada sembarang tempat.
Ketika ada kesadaran semacam itu, ada proses belajar untuk selalu menemukan kelemahan. Belajar dari kelemahan akan melihat kelemahan orang lain juga sebagai sesuatu yang wajar. Orang yang demikian tidak akan menjadikan kelemahan orang lain sebagai tempatnya berpijak melangkah dengan tegap.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.