Saya tidak tahu apakah Anda pernah mendapat pengalaman yang tidak enak terkait orang yang buang angin. Senyap-senyap saya pernah mendengar bagaimana standar orang menanggapi sejumlah perilaku yang diperlihatkan seseorang dari budaya yang berbeda. Menguap dan buang angin adalah salah satunya. Saya dengar bagi masyarakat dalam budaya tertentu, tidak masalah dengan buang angin. Lantas bagaimana kalau buang angin itu menghasilkan aroma yang tidak enak? Bukankah akan menjadi masalah tersendiri? Justru dalam budaya itu, yang saya dengar, bermasalah ekspresi lain dari orang, semisal menguap, yang dianggap sebagai tidak sopan.
Mendudukan soal sopan itu menarik bagi saya. Bagaimana yang disebut sopan dalam masyarakat tertentu, lantas dibandingkan dengan masyarakat yang lain. Barangkali berbeda-beda. Dalam masyarakat tertentu, buang angin, walau terdengar oleh orang-orang sekitarnya, dianggap tidak masalah –setidaknya dianggap lebih sopan dari menguap. Dalam Kamus, menguap ini diartikan dengan membuka mulut dan mengeluarkan udara (karena mengantuk dan semacamnya). Kata ini sendiri ada yang bermakna lain, yakni menjadi uap, mengeluarkan uap. Menguap yang saya maksudkan sebagai ekspresi orang yang mengantuk.
Saya tidak akan mengomentari kedua perilaku itu secara mendalam. Hal yang ingin saya sampaikan adalah soal sopan. Mengapa dalam masyarakat tertentu menganggap buang angin sembarangan sebagai tidak sopan, sedangkan dalam masyarakat yang lain dianggap sebaliknya, dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja. Dalam masyarakat tertentu, menguap itu dianggap sebagai hal yang alamiah dan berpotensi dialami banyak orang, justru oleh masyarakat yang lain dianggap sebagai sesuatu yang tidak sopan. Lalu saya kembali buka Kamus Bahasa Indonesia, yang disebut sopan adalah (1) hormat dan takzim, tertib menurut adat yang baik; (2) beradab (tingkah laku, tutur kata, pakaian, dan sebagainya; (3) baik kelakuannya (tidak lacur, tidak cabul). Dari konsep kata ini, kemudian saya bertanya-tanya, bukankah sopan itu juga ditentukan oleh pemaknaan dan budaya?
Saya teringat satu kisah lama, para orang tua menceritakan seorang raja yang tidak mampu menahan anginnya. Ia berhasil mengeluarkan angin dengan tidak bersuara. Anda tentu paham, bahwa keluar angin yang tidak bersuara memiliki efek lainnya, yakni aromanya yang sering tidak enak. Ada seorang pelayan raja, tahu persis walau tidak bersuara, bahwa rajanya sudah mengeluarkan angin. Dengan cepat orang ini tunjuk tangan. Semua mata lalu memandang ke arahnya. Ia meminta maaf, karena telah mengeluarkan angin dan membuat semua mencium aroma tidak enak. Raja sedikit memperlihatkan wajah berang. Akan tetapi, di belakang suasana ini, raja menepuk-nepuk bahu pelayannya itu. Ia mendapatkan sejumlah hadiah.
Kadangkala untuk urusan buang angin pun, harus diselamatkan muka orang –terutama wajah orang terhormat. Bukankah ini menjadi realitas lain bagaimana pemaknaan yang berbeda terhadap sesuatu?