Iseng saya melihat dan menerka sejumlah foto teman di media sosial. Saya berpikir, berapa lama mereka mempersiapkan foto yang ditampilkan itu? Berkali-kali kah? Atau hanya sekali? Perjuangan untuk mendapatkan foto yang bagus, tentu tidak sederhana. Proses untuk mendapatkan foto dengan sudut pandang yang menarik, kadang-kadang dilalui dengan usaha yang berat. Sejumlah kejadian yang terjadi dan menimpa mereka yang akan swafoto, tampak bahwa usaha ini selain tidak sederhana, juga tidak jarang melalui sejumlah risiko. Lantas mengapa orang memilih mengambil berbagai risiko itu? Saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini dengan sederhana. Apa yang dilakukan itu, dapat saya pahami sebagai usaha untuk menampilkan sesuatu yang lebih dari aslinya. Sebagian besar dari kita, berkeinginan untuk menampilkan lebih dari yang kita punya. Jarang ada orang yang ingin menampilkan sesuatu yang lebih rendah dari apa yang kita punya.
Orang-orang sederhana lambat laun menjadi jalan hidup yang dianggap luar biasa. Mereka yang memilih jalan hidup normal dan biasa, dianggap mengingkari keinginan hidup yang selalu ingin lebih. Orang-orang yang mencoba hidup dengan lurus, apa adanya, tidak menambah atau mengurangi, dianggap sebagai potret langka yang hadir tiba-tiba dalam realitas. Sudah begitu dunia ini dianggap banyak orang, barangkali disebabkan karena perilaku yang didominasi oleh yang berlebihan. Kenyataan ini juga menyebabkan orang lebih dominan kepada pemenuhan keinginan dibandingkan hanya sekedar mendapat kebutuhan. Apa yang dibutuhkan sebagai hidup normal, dikalahkan oleh berbagai keinginan agar tercapai hidup yang bisa membuat orang lain terkagum-kagum. Fenomena ini lebih lanjut akan membuat orang rela melakukan apapun untuk mencapai rasa takjub orang lain itu.
Berbagai wajah yang hadir di sekitar kita, melalui media sosial, mencerminkan sebagian fenomena itu. Betapa keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang wah, dilakukan dengan cara-cara yang bisa berlebihan. Orang lupa pada apa yang nyata, karena tergiur dengan berbagai godaan dari banyak orang itu. Keinginan ini pula yang menyebabkan sebagian kita sudah tidak malu berswafoto dalam kondisi apapun. Bahkan dalam kondisi menyedihkan, trenyuh, menyakitkan orang lain, kita rela mengambil foto hanya untuk mendapatkan rasa kagum di atas. Entah bagaimana mental ini harus diubah. Jangan sampai suatu saat, kita tidak ubahnya seperti seorang artis yang hidupnya dari jual-menjual sudut pandang dari foto atau gambarnya. Saat gambar mereka direkam, foto mereka dipotret, entah berapa banyak sudut pandang yang harus dicoba. Mereka tahu bahwa itu pilihan masuk akal dalam dunia yang dipenuhi oleh kepalsuan. Orang sudah semakin suka pada yang ditampilkan bukan aslinya, ketimbang untuk memperlihatkan apa adanya. Pada posisi yang demikian itulah, posisi apa adanya itu dianggap sebagai suatu keanehan.