Kebersamaan itu tidak mungkin secara sederhana diukur menggunakan efektivitas dan efisiensi. Maksudnya harus dipilah sesuai konteks. Suatu waktu, saat sedang mengajar, saya mendapat pertanyaan: mengapa orang harus bekerja bersama untuk melakukan hal tertentu yang sesungguhnya dengan diupah lebih cepat selesai? Apalagi dalam masyarakat kita, terkenal dengan pameo, gotong royong, ladom duek, ladom dong. Kerja bersama, semacam gotong royong, sebagian yang kerja, yang lain ada yang duduk-duduk atau berdiri-berdiri saja.
Saya menangkap ada maksud lain yang lebih hebat. Kerja bersama sepertinya hanya sebagai media dan ruang untuk membuat orang-orang sekampung bisa bertemu dan bersosialisasi. Pada saat yang sama, berbagai internalisasi memungkinkan berlangsung. Di sinilah yang mahal. Tujuan akhir dari proses ini adalah menjaga keseimbangan.
Hal lain, rasanya sudah tidak pada tempatnya memversuskan kampung dan kota. kadang-kadang di kota sudah lebih hebat rasa kebersamaannya ketimbang di kampung. Itu dalam makna konvensional. Berbeda dengan makna dalam ilmu pengetahuan, bahwa yang dimaksudkan kota terkait dengan nilai rasionalitas dan modernitas.
Saya memilih yang konvensional saja. Pengalaman lain, ketika saya menghadiri kegiatan gotong royong di tempat saya tinggal dalam rangka persiapan buka puasa bersama. Gotong royong biasa dilakukan dalam masyarakat. Untuk hal-hal yang membutuhkan kebersamaan, akan diselesaikan dengan kerja bersama tersebut. Dalam berbagai hal. Termasuk dalam hal mempersiapkan masakan yang akan digunakan untuk berbuka.
Mempersiapkan makanan semacam ini juga dilakukan oleh warga di tempat lain. Acara berbuka bersama selalu mengundang dari sejumlah kampung tetangga. Termasuk pimpinan dan warga kampung ini juga diundang oleh kampung lain. Bahkan ketika hari-hari terakhir puasa, pelaksanaan buka puasa bersama kadang dilaksanakan serentak beberapa tempat.
Menghadapi suasana demikian, biasanya pimpinan kampung yang diundang berusaha untuk membagi orang-orang yang akan hadir. Semua kampung diharapkan akan ada yang datang menghadiri. Secara sederhana, ketika menghadiri undangan orang, maka ketika mengundang juga akan dihadiri. Bagi orang-orang yang beranggapan nilai kebersamaan yang tadi, tidak bisa membayangkan ketika mengundang orang lain, namun mereka tidak datang. Orang yang datang dianggap sebagai suatu kehormatan, baik bagi tamu, juga bagi tuan rumah. Inilah rumus kebersamaan. Datang ke tempat orang lain, pada saatnya orang lain itu akan datang ke tempat kita. pengalaman mendapatkan pengetahuan semacam ini juga tidak terjadi begitu saja. Tidak semua orang memahami kondisi semacam ini, apalagi mereka yang tidak pernah hidup di kampung.
Satu pengalaman lagi yang saya dapat sewaktu saya menjalankan tugas tri darma. Menarik, karena saya dan beberapa teman harus kembali mengunjungi lapangan, mengunjungi orang di kampung, untuk melihat bagaimana masalah tertentu muncul di lapangan, dan bagaimana pula mereka yang mengalami masalah, menyelesaikan hal tersebut. Memang harus terkesan bahwa kita akan belajar kembali tentang satu wajah ilmu dalam masyarakat kita. Seperti sebuah laboratorium sosial yang luas, maka masyarakat menjadi pengisi dari laboratorium yang sebenarnya.
Untuk memahami bagaimana rumus bisa dipasang atau diukur kembali, maka selalu melihat laboratorium itu menjadi pilihan bijak. Kita tidak boleh berjarak untuk selalu melihat apa yang sesungguhnya berlangsung dalam masyarakat bawah. Kadangkala di luar dugaan kita, masyarakat bawah merupakan elemen yang banyak merasakan penderitaan namun mereka tidak semua mau dan mampu mengungkapkannya.
Dalam konteks bagaimana mereka merasakan dan menyelesaikan hal tersebut, merupakan hal yang harus dipelajari secara dekat. Melihat sumber masalah tidak bisa hanya dengan melihat dari jauh, berdiri dari satu titik dari jarak tertentu, lalu melihat masalah yang terjadi. Rumus demikian bisa saja dipan-dang objektif oleh satu pihak, namun tak tertutup kemungkinan, dipandang subjektif oleh pihak lainnya. Sebaliknya, mereka yang terlibat langsung untuk merasakan apa yang terjadi, juga bisa saja dipandang bukan jalan yang tepat. Pelibatan yang demikian dianggap bisa mempengaruhi objektivitasnya. Sampai di sini, perjalanan yang tak kalah rumit sesungguhnya adalah apakah ada yang namanya objektivitas itu?
Memandang dari titik tertentu atau turut terlibat di dalam berbagai aktivitas masyarakat, yang jelas turun ke lapangan merupakan langkah yang harus dilakukan. Masyarakat sebagai pihak yang menjadi sumber pengetahuan itu harus selalu dipandang sebagai pusatnya pengembangan ilmu. Seorang kolega saya, jauh-jauh hari sudah mengingatkan kami waktu itu, bahwa apa yang kita ketahui, pada dasarnya bersumber dari banyak orang lain. Dengan demikian, ketika kita menuliskannya menjadi buku berjilid-jilid, berwujud jurnal yang bervolume-volume, atau mengisahkannya di berbagai dokumentasi yang berepisode-episode, pada dasarnya kita hanya melanjutkan kisah, dari yang dikisahkan oleh banyak orang di sekeliling kita.
Banyak orang kemudian mendapatkan gelar yang tinggi, mulai dari diploma hingga sarjana, mulai dari profesi sampai magister, dari doktor hingga mencapai profesor, baik guru kecil maupun guru besar, ternyata tidak bisa melepaskan diri dari sumber pengetahuan tersebut. Dengan logika bahwa kita hanya memasukkan saja dalam rumus-rumus yang tersedia, maka sesungguhnya pemilik semua gelar yang kita dapatkan adalah mereka yang menjadi sumber apa yang kita tuliskan. Sayangnya banyak kita yang melupakan begitu saja setelah gelar didapat. Nafsu dan keangkuhan membuat kita kemudian menjadi berjarak dengan penghantar apa yang kita dapat.
Peta belajar dan pembelajaran seyogianya senantiasa bergerak dan menuntun semua orang untuk lebih bijaksana. Seperti ilmu padi, kita setelah semakin terisi seyogianya harus terus menunduk. Sebab yang terisi itu tak semua berdasarkan modal kita sendiri. Ada peran banyak orang lain di sekeliling kita, yang tidak boleh kita lupa. Ini masalah bagaimana nafsu kita kendalikan. Hanya orang-orang yang berhasil mengelola nafsunya yang memungkinkan dengan besar hati mengakui bahwa kita bukan sesiapa. Kita hanya mendapat titipan saja.