Setiap kesempatan, kita seyogianya berdoa untuk selalu berkesempatan mendapatkan akhir kehidupan yang baik. Dalam kehidupan ini, seseorang yang memperoleh akhir yang baik tidak bisa diduga oleh manusia. Seseorang yang berperangai buruk, namun ketika waktunya mendapat hidayah, berkesempatan menjadi orang yang mendapat akhir yang baik. Sebaliknya, orang yang baik namun tidak menjaganya bisa saja tergelincir dan mendapat akhir yang buruk –mudah-mudahan Allah jaga hidup kita untuk mendapat akhir yang baik.
Akhir kehidupan manusia tidak ada yang tahu, kecuali Pencipta. Orang-orang yang baik tidak boleh sombong, karena ketika tergelincir, tidak butuh waktu lama untuk menjadi orang yang tidak baik. Makanya siapapun harus menjaga diri untuk selalu menjadi orang-orang yang baik dan mudah-mudahan berakhir dengan baik pula.
Saya ingin bercerita pengalaman tinggal di daerah lain lalu ada satu tetangga meninggal dunia. Umurnya sudah di atas 80 tahun. Perempuan. Sudah beberapa kali dirawat di rumah sakit. Sebenarnya letak rumah tidak jauh dari tempat saya tinggal. Di samping itu, anaknya adalah orang yang selama ini mengurus bidang sosial di tempat ini. Sejujurnya saya tidak mendapat informasi ada tetangga yang meninggal. Di sini, apabila ada orang meninggal, diberitahukan dengan tanda khusus. Ada bunyi tertentu yang ditiup oleh orang yang berkeliling dari ujung ke ujung kampung. Nah, ketika orang ini lewat, saya sedang tidak di depan. Saya baru tahu ada yang meninggal, ketika tiba-tiba, setelah shalat ashar, ada ambulance yang berhenti di depan masjid, diiringi rombongan. Jenazah lalu dishalatkan, kemudian dikuburkan kompleks kuburan umum yang letaknya tidak jauh dari masjid. Iringan pengantar jenazah sebenarnya banyak. Sayangnya, yang menshalatkan hanya sebagian kecil saja, yang lain nonton-nonton saja.
Perasaan trenyuh, disampaikan oleh seseorang yang menurut saya sangat istimewa, seorang muazin. Istimewanya, karena ia adalah muazin subuh –waktu yang ketika banyak orang memilih menarik selimutnya lebih dalam. Selama tinggal di sini, suara sudah sangat familiar bagi saya. Setiap subuh, sangat jarang ada suara lain. Walau beberapa kali, kondisi kesehatannya terganggu, namun tetap memaksa diri ke masjid. Baginya membangunkan orang ketika subuh itu, ganjarannya luar biasa. Makanya beberapa kali dalam kondisi kurang sehat pun, ia tetap memaksakan diri.
Dari mulut bapak inilah keluar kata trenyuh. Ia tidak habis pikir mengapa susah untuk turut shalat jenazah. Memang fardhu kifayah, namun banyak sekali faedah yang didapat dari seorang yang ikut serta secara utuh mengantar mereka yang meninggal.
Beberapa kali saya dengar kisah bapak ini dari orang lain. Umurnya yang sepertinya sudah lebih dari 70 tahun. Dari kisah yang sudah lama saya dengar, ia adalah mantan petinju yang sempat bertanding pada level pekan olahraga nasional. Ia juga pernah dapat medali, untuk kelas terbang. Ia juga sempat jatuh dan KO dari lawannya.
Namun pada saat itu, saya mendengar sendiri dari mulutnya. Salah satu lawan tanding yang meng-KO-kannya, yang masih ia ingat betul adalah petinju dari daerah asal saya, yang katanya jumpa terakhir dalam pekan olahraga tahun 1974. Ia bahkan ingat nama petinju itu: Tarmizi. Namun saya segera mengakhiri kisahnya tentang bertinju. Hal menarik bagi saya justru waktu berhentinya sebagai petinju. Menurut orang-orang di sini, ia sudah memutuskan berhenti pada usia 24 atau 25 tahun, ketika sinarnya sedang terang. Alasannya, menurut orang-orang sangat sederhana: ia merasa olahraga ini tidak membuat orang bahagia.
Ketika ia putuskan berhenti, ia merasa harus menebus masa yang telah berlalu. Makanya ia menebusnya dengan menjadi muazzin subuh. Namun di waktu shalat jamaah yang lain, ia pun tak pernah absen.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.