Semuanya tergantung pada kita bagaimana menganggap suatu cobaan yang datang. Cobaan itu pada dasarnya seperti ujian kenaikan kelas, yang akan menentukan kelas dari orang-orang yang bisa menghadapi berbagai cobaan yang dihadapinya. Saya kira kalau kita buka Kitab Suci, garansinya jelas sekali, bahwa cobaan yang diberikan kepada manusia tidak melampaui dari kemampuan manusia untuk menerimanya.
Sebagai sebuah ujian, apalagi yang menentukan kenaikan kelas, sesungguhnya cobaan tetap diperlukan. Akhir kehidupan yang baik bisa saja ditentukan oleh karena adanya cobaan dalam kehidupan kita. Orang-orang yang tidak memiliki cobaan apapun, barangkali tidak ingat akan apapun dalam hidupnya.
Bentuk dari cobaan ada ragam. Orang yang mendapat cobaan, satu sama lain pun tidak sama. Orang yang mendapat cobaan yang sama, posisi orang berbeda dalam menerimanya.
Sekiranya Anda dan saya pernah ke beberapa tempat yang pernah dilanda bencana, kita bisa menemukan sejumlah kenyataan dalam masyarakat yang bersangkutan. Ada sebagian mereka yang sangat siap menghadapi apapun. Seperti sebatang pohon yang selalu siap sedia menghadapi berbagai kondisi badai. Orang semacam ini berusaha tidak pasrah, namun selalu menganggap bahwa kehidupan itu sudah ada yang mengaturnya. Ada juga sebagian yang lain yang tidak bisa menerima dengan apa yang sedang terjadi. Orang yang semacam ini, akan menghadapi berbagai goncangan jiwa, yang tidak jarang akan menyebabkan jiwanya terganggu.
Mengenai kondisi, ada sebagian yang menyadari. Kondisi negara kita yang berada di kawasan apa yang disebut garis api dan patahan lempeng, selalu berpotensi bencana. Kondisi semacam ini, ada yang berusaha mengantisipasi dengan berbagai keadaan di sekelilingnya. Rumahnya dibangun semudah mungkin bisa menghindari bencana. Jalan-jalan dan saluran yang memudahkan proses evakuasi bila terjadi bencana. Kemudian juga ruang fisik yang memungkinkan adanya persiapan dalam rangka meminimalisir korban. Semua hal dilakukan pada dasarnya digunakan untuk memudahkan dalam menghadapi sekiranya sewaktu-waktu bencana terjadi. Ini yang namanya usaha, namun dengan usaha demikian masih tetap ada korban, itu hal yang lain. Masalahnya menjadi lain sekiranya justru kita tidak melakukan apa-apa, dan malah kita tidak menghindarkan diri dari bencana dan eksesnya –seperti terjun bebas untuk menceburkan diri dalam bencana. Yang disebut terakhir bukan tipe mereka yang berusaha.
Ada hal yang jamak dihadapi oleh mereka yang menghadapi bencana, yakni keadaan mereka yang bisa saja berubah tiba-tiba. Orang yang sudah memiliki harta dan anggota keluarga, tiba-tiba menjadi sendiri dan tidak lagi memiliki apa-apa. Mereka yang dahulu kaya, dengan bencana membuat mereka harus kembali seperti semula. Kondisi ini bisa membuat orang yang tidak siap akan membuat goncang kehidupannya. Sebaliknya, mereka yang berpikir bahwa semuanya sudah ada yang atur, maka kejadian apapun akan dihadapi dengan tetap tegar. Mereka yang disebut terakhir ini yakin bahwa apapun yang dimiliki merupakan titipan dan amanah, yang tidak mesti ada persetujuan ketika amanah dan titipan itu diambil kembali.
Ketika berada pada posisi yang demikian, lalu dengan senantiasa berpikir bahwa apapun merupakan titipan, maka untuk mendapatkan kembali apa yang pernah ada, selalu terbuka peluang untuk dicapai. Peluang ini dapat disebut sebagai harapan. Mereka yang sudah tidak memiliki apa-apa, selalu ada peluang dan harapan untuk mendapatkan apa-apa kembali. Ingatlah orang selalu berangkat dari tidak ada, lalu menjadi ada. Nah, ketika yang ada itu kemudian diambil kembali, maka tentu bukan sesuatu yang patut digelisahkan.
Inilah yang disebut dengan harapan. Orang yang optimis, akan menganggap bahwa kehidupan yang dijalaninya selalu ada harapan untuk mendapatkan sesuatu yang baik, bahkan sesuatu yang luar biasa. Mereka yang optimis, akan menyambut harapan tersebut dengan menggunakan kekuatan untuk berusaha secara keras dan berdoa dengan ikhlas.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.