Setahun terakhir, kita bisa menyaksikan hal yang sangat masif terjadi. Hukum dan viral, atau sebaliknya, viral dan hukum. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan viral sebagai sesuatu yang bersifat menyebar luas dan cepat seperti virus. Dalam dunia sains, virus sebagai makhluk yang juga bisa dideteksi baik kemunculan dan pergerakannya. Bisa jadi pada saat tertentu akan sulit terdeteksi secara cepat, tapi karena dunia keilmuan tidak berhenti, berbagai temuan akan menyibak berbagai realitas yang ada.
Hukum dan viral begitu terasa sekarang ini. Hukum bergerak dengan cepat saat semuanya sudah viral. Tapi secara matematis, sedikit butuh waktu dan berproses jika kasus yang biasa saja. Sebagaimana dalam sosiologi memperkenalkan bagaimana dunia kelas itu tidak mungkin bisa dihindari. Kelas kakap dan kelas teri.
Viral itu tidak selalu dapat dipandang positif. Dalam hukum, idealnya, harus ada energi untuk menggerakkan proses implementasi secara masif. Tidak mungkin didiamkan, jika hukum penting digerakkan. Di samping ada juga sisi negatif, terutama untuk mereka yang tidak bisa menempatkan diri dengan baik dengan berbagai teknologi yang sudah terhidang begitu rupa di hadapannya.
Lihatlah bagaimana dua orang polisi yang baru dilantik, yang tidak mampu membedakan ruang privat dan ruang publik. Menjilat kue ulang tahun yang dikirim atasannya kepada institusi tentara. Ia melakukannya, lalu disebarkan. Dalam sekejap menjadi viral. Mereka diberi sanksi tegas. Harus diingat bukan semata pada soal jilatan, melainkan perilaku itu yang secara tak terketam, digunakan ruang publik untuk disiarkan. Hukum semakin dibantu dalam mendudukkan yang mana ruang privat dan kemudian menjadi kamar yang terbuka bagi siapa saja. Perilaku yang semacam ini, akan berimbas serius bagi institusi masing-masing. Begitulah posisi viral.
Kita menyaksikan sejumlah petinggi polisi merasakan sanksi berat. Puzzle dari perilaku buruk dikuak oleh publik yang pintar dengan dibantu alat yang mereka pegang. Telepon pintar sudah mampu menangkap potongan-potongan kejadian dan membuat seseorang bisa super kritis. Seorang brigadir terbunuh. Serentetan kejadian lalu diungkap ke publik. Di luar itu, ada realitas yang tidak terkendali, berupa puzzle yang tadi, digabung-gabungkan oleh publik untuk mempertanyakan bukan saja yang mana yang benar, melainkan secara hakiki tentang kebenaran itu sendiri. Pelaku sering tidak terkontrol, dan melakukan-mengungkapkan hal yang bisa dianggap sebagai kontradiksi.
Sanksi ini membuktikan bahwa hukum tidak berbicara tentang jumlah. Orang yang dibunuh satu orang, dan bisa mendapatkan hukuman bagi semua pelaku yang turut terlibat di dalamnya. Selaras dengan kredo hukum yang dibangun di tembok-tembok kampus: “hukum harus ditegakkan walau langit runtuh”.
Di ruang yang lain, kejahatan terjadi dan penegak hukum kerap dipertaruhkan kecerdasan. Para penegak hukum bisa membongkar kasus besar tidak hanya akan berimbas pada institusi, melainkan kepada negara hukum kita.
Dalam kecemerlangan, ada juga jalan mundur. Tujuh tahun yang lalu, saya tulis satu artikel yang dimuat Harian Serambi Indonesia, 30 Agustus 2015, dengan judul “Mengkritik dan Menghina”. Saya mengingatkan bahwa sebuah kata itu akan menjadi hiperaktif di tangan orang-orang yang ingin menjungkir-balikkannya ke berbagai arah yang diinginkan.
Saat kuliah teori hukum, ketika masih menjalani kuliah, saya mendapatkan gambaran tentang apa yang disebut sebagai simulacra. Lalu, ketika buku Jean Baudrillard diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dari bahasa Perancis, Simulacra dan Simulation, tahun 1994, masih banyak yang terperanjat. Buku ini diterjemahkan oleh Sheila Glaser dan diterbitkan Michigan University Press (1994). Buku ini diterjemahkan dari bahasa Perancis, Simulacres et Simulation, yang diterbitkan pertama sekali tahun 1981. Buku ini agak tipis, 164 halaman, dengan kategori filsafat postmodernisme.
Saat mendapatkan simulacra, daya pikir saya terbang ke awan. Materi seberat ini, jarang saya dapatkan di kampus saya. Bahkan bagi kampus tertentu, dan dalam bidang tertentu, ilmu semacam itu harus diasingkan, mengingat ia sebagai sesuatu yang dianggap tidak terkait. Sama seperti sejumlah gagasan postmodernisme yang lain, setelah dua dekade, pelan-pelan orang dalam berbagai bidang ilmu mulai merasakan kegoncangan-kegoncangan yang menggambarkan apa yang pernah dipaparkan oleh mereka.
Saya kira termasuk dalam bidang hukum, suatu bidang yang awalnya sepi dari berbagai perbincangan kemungkinan. Hukum selalu diindahkan dengan dominasi teori yang menggambarkan ia sebagai sesuatu yang serba pasti. Posisi yang tidak bisa dibantah, dan dianggap sebagai jawaban tunggal untuk menjawab semua permasalahan yang ada. Kotak-kotak ini, yang kemudian digolongkan sebagai kotak aliran hukum, seyogianya juga terus berkembang. Di dunia pernah dikenal sejumlah aliran hukum yang terus dikaji, mulai dari hukum alam, hingga aliran yang belum sepenuhnya diterima, postmodernisme. Puncak kebangunan dari seluruh aliran adalah positivisme pada abad ke-19. Bahkan hingga sekarang, aliran ini sangat mendominasi termasuk dalam proses belajar-mengajar hukum.
Agak sedikit teoritis, saya mendapatkan gambaran ini dari buku Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Istilah positivisme dalam lingkup falsafah bermula dari Henri Saint-Simon (1760-1825) dan August Comte (1798-1857). Positivisme adalah suatu faham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai suatu objektiva, yang harus dilepaskan dari sembarang macam prakonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya (Gordon, 1991). Diaplikasikan ke dalam pemikiran tentang hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum sebagaimana dianut oleh pada eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu, setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat (atau wakil-wakilnya). Hukum tidak lagi mesti dikonsepkan sebagai asas-asas moral metayuridis yang niskala (abstrak) tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai ’apa yang terbilang hukum’ dan apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum’.
Akan tetapi di luar ruang, berbagai gejala dan fenomena terlihat. Secara konsep, gejala menggambarkan tentang keadaan yang tidak biasa dan patut menjadi perhatian, sekaligus memberi sinyal tentang kemungkinan (terjadi) sesuatu. Sedangkan fenomena adalah hal-hal yang bisa disaksikan dengan panca indera dan dapat diterangkan dan dinilai secara ilmiah.
Gejala ketidakpastian menguat, menjadi suatu fenomena yang bisa diuji. Bagi suratkabar semacam Harian Kompas, jajak pendapat bisa menjadi salah satu ruang uji itu. Dengan melakukan jajak pendapat, apa yang dirasakan oleh orang-orang yang hidup di bawah kepastian hukum, akan mengemuka. Ada sejumlah suratkabar lain yang melakukan hal yang sama, melihat pendapat publik tentang hukum. Dalam salah satu jajak pendapat, Harian Kompas (1 April 2013) melihat kondisi dan rasa kepercayaan publik terhadap hukum. Jajak pendapat ini sudah berlangsung lama, namun untuk melihat apa yang dirasakan, sangat penting untuk ditimbang-timbang para pengkaji hukum. Ada kondisi kesetimbangan sosial yang dirasakan kian tipis.
Kondisi ini turut disebabkan oleh dua hal yang krusial. Hukum banyak “dibajak” oleh kekuatan di luar hukum. Saya ingatkan kembali apa yang ditulis Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), yang menuntut kita untuk membedakan antara penegakan hukum dengan penggunaan hukum. Orientasi yang berbeda disertasi implikasi, ketika hukum digunakan –bahkan dengan cara-cara yang di luar hukum.
Kondisi ini tidak sederhana, mengingat ketika bukan kekuatan hukum yang dominan, maka taruhannya adalah negara hukum. Betapa negara hukum itu, ketika digunakan oleh berbagai kekuatan bukan dengan hukum, maka yang terjadi adalah negara kekuasaan. Berbagai masalah hukum pun kemudian ditentukan oleh bagaimana kekuasaan menerima atau menolaknya.
Dalam berbagai perkembangan penegakan hukum di negeri kita, perilaku struktur hukum tidak jarang menyerempet keharmonisasi antarlembaga. Dalam kasus korupsi, bertahun-tahun bangsa kita didera oleh ancaman keharmonisan lembaga penegak hukumnya. Dalam kasus cecak dan buaya, salah satu wujudnya. Kondisi ini, dengan melihat apa yang diungkapkan oleh Harian Kompas, juga bisa dianggap sebagai kesenjangan dan pola hubungan antaraparat keamanan negara yang turut memperkeruh persoalan (Kompas, 1 April 2013).
Kondisi di atas pula sering digambarkan Satjipto Rahardjo sebagai kondisi yang luar biasa. ketika menegakkan hukum bidang tertentu, tak pelak juga membutuhkan orang-orang dan cara-cara yang luar biasa. Implikasinya sangat luas. Menipisnya kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum, akan menjadikan hukum dan berhukum pada kondisi yang tidak menguntungkan. Ada dua hal yang sering dipertanyakan, yakni masalah profesionalisme dan integritas moral. Dua hal ini akan bermasalah ketika dalam posisi tertentu dimainkan oleh kekuatan politik, maka kekuatan keduanya akan dipertaruhkan.
Di luar situasi yang demikian, masih ada sesuatu yang lain yang seolah bisa jauh dari yang diperkirakan. Permainan bahasa dapat menjadi salah satu contoh. Ketika penggunaan bahasa yang rapi, kebenaran bisa digulingkan atau dibuat ragu oleh yang mendengarnya. Lalu berbagai perkembangan dunia, seolah bisa berlaku sedemikian rupa, yang membuat orang-orang bisa bingung atas apa yang sedang terjadi. Orang menyangka sesuatu sebagai benar, lalu disaksikan sebaliknya. Sesuatu yang diperkirakan sebaliknya, ternyata tidak demikian.
Beberapa waktu yang lalu, dunia pembuktian di pengadilan disibukkan dengan bagaimana sebuah kejahatan dibuat sangat rumit bagi awam untuk memahaminya. Demikian juga dalam satu kasus yang lain, ketika para saksi ditakut-takuti habis-habisan oleh mereka yang membela, dengan cara mengancam melaporkan menjadi kasus yang baru. Orang-orang menyaksikan bagaimana lapor-melapor oleh mereka dianggap sebagai kasus hukum, semakin membuat bingung. Rasa bisa beda. Orang merasakan seolah sesuatu sedang terjadi, orang-orang yang ada kepentingan dengan pihak tertentu, akan berhadapan dengan pihak lainnya.
Rekayasa kasus bukan sesuatu yang sulit terjadi. Dengan dunia yang semakin cair tidak lagi hitam dan putih, membuat semuanya seperti tidak pasti. Dalam wajah lain yang lebih terukur, kegoncangan-kegoncangan terjadi. Sesuatu yang sepertinya benar, maka akan menguat ketika energi benar itu menguat. Sebaliknya, ia juga bisa melemah. Jika dikerucutkan, itulah simulacra. Simulacra itu, dalam dunia kontemporer, bukanlah sesuatu yang baru. Ada satu teori yang diungkapkan Jean Baudrilard, yang mendudukkan ruang sebagai arena simulasi berlangsung. Jean Baudrilard lahir di Perancis Timur tahun 1929, seorang sosiolog dengan mengambil ruang postmodernisme.Dengan simulacra, seolah ia mempertanyakan adakah realitas asli itu?
Simulacra dan simulasi menjadi berkaitan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, simulasi adalah metode pelatihan yang memperagakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang sesungguhnya. Kita yang hidup di daerah bencana, merasakan semakin banyak simulasi atas bencana, maka diperkirakan semakin mudah menghadapi dampak bencana. Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan, dalam kehidupan manusia, fisik dan psikis adalah dua hal. Secara fisik orang dilatih sedemikian rupa, ketika dilupakan mental, maka bukan tidak mungkin yang berlaku adalah sebaliknya.
Dalam diri manusia ada dua hal itu yang saling menguatkan. Maka sesuatu yang tidak tembus pandang, harus dinilai dengan rasa yakin. Ketika rasa yakin ini didompleng oleh kepentingan tertentu –baik dalam makna positif maupun negatif—maka implikasi juga akan berbeda. Fisik dan mental yang menentukan seseorang itu bisa dan mau melakukan sesuatu atau tidak, melakukan sesuatu yang penting atau tidak penting, memberi pertimbangan bisa diterima akal atau sebaliknya.
Contoh lain dari saling menguatkan dalam menilai ini, adalah ketika ada wacana dan keinginan memasukkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Wacana ini pun langsung tersulut. Seperti bensin di musim kemarau. Wacana yang awalnya berkembang di kalangan terbatas, dalam sekejap menjadi konsumsi publik luas.
Dalam Pasal 134 jo 136 KUHP, pasal penghinaan terhadap presiden telah dilakukan pembatalan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Menurut sejarahnya, pembentukan pasal tersebut berasal dari Wetbook Van Strafrecht (WvS) (Kitab Undang Undang Hukum Pidana Belanda) yang juga diberlakukan di Negara jajahan. Pembentukan peraturan tersebut sudah lebih dari satu abad.
Usul pasal penghinaan dilakukan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Kemudian berbagai pihak, termasuk anggota legislatif, ada yang setuju dan ada yang tidak. Yang setuju menyebutkan bahwa harkat dan martabat presiden adalah cermin dari harkat dan martabat negara yang harus dijaga. Sedangkan pihak yang tidak setuju, memandang pasal tersebut berpotensi untuk disalahgunakan, terutama mereka yang selama ini sesungguhnya melakukan kritik, tetapi dianggap menghina.
Disebabkan istilah dalam bahasan ini ada beberapa, yakni selain kritik, hina, ada juga kata-kata lain yang terkait. Maka wacana di atas, dapat dilihat dari konsep kata dasar, yakni “kritik” dan “hina”, serta kata-kata yang terkait tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “mengkritik” memiliki dua maksud, yakni mengemukakan kritik dan mengecam. Mengkritik berasal dari kata kiritik, yang berarti “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb”. Dalam konteks kritik yang membangun, dimaksudkan sebagai kritik yang bersifat memperbaiki. Di samping itu, kritik dilakukan oleh orang yang mengkritik, orang yang mengemukakan kritik.
Dengan berpatokan pada konsep di atas, sebuah kritik tidak mesti disertai uraian dan pertimbangan. Dalam berbagai bidang ilmu, dikenal pula yang namanya kritikus, yaitu mereka yang ahli dalam memberikan pertimbangan (pembahasan) terhadap baik buruknya sesuatu.
Kritik terkait dengan kecam. Dari segi konsep, kata itu bermaksud menyelidiki (mengamat-amati) dengan teliti; mencamkan. Kecam juga dianggap sama dengan mengkritik dan mencela. Kata terakhir ini berarti mengatakan bahwa ada celanya; mencacat; mengecam; mengkritik; menghina. Mencela berasal dari kata “cela”, yang berarti: (1) sesuatu yang menyebabkan kurang sempurna; cacat; kekurangan; (2) aib; noda (tentang kelakuan, dsb); (3) hinaan; kecaman; kritik.
Sementara menghina, bermaksud: (1) merendahkan; memandang rendah (hina, tidak penting); (2) memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti maki-maki, menistakan. Menghina berbeda dengan penghinaan, yang berarti proses, cara, perbuatan menghina(kan); menistakan. Kata menghina berasal dari kata dasar “hina”, yang memiliki dua makna: (1) rendah kedudukan (pangkat, martabatnya); (2) keji, tercela, tidak baik (tentang perbuatan, kelakuan).
Dari segi konsep, dalam Kamus Bahasa ada sejumlah maksud tertentu dipandang sama. Ada konteks tertentu yang diposisikan bahwa maksud dari kata kritik, hina, bahkan cela, dan kecam, pada dasarnya sama saja. Namun tidak bisa dinafikan, dalam konteks lain, penggunaan kata itu bisa berarti berbeda.
Dengan bertitik tolak dari gambaran demikian, pengaturan tentang penghinaan perlu dirumuskan secara hati-hati karena ia terkait dengan konteks. Karena hal ini terkait dengan konteks, maka maksud ketentuan “penghinaan”, ketika sudah diatur nantinya, akan berpeluang untuk dibelokkan untuk berbagai kepentingan.
Berpatokan pada KUHP, penghinaan terhadap presiden bisa saja bertumpu pada delik aduan. Pengaturan secara khusus akan berpeluang digunakan untuk menghantam orang yang melakukan kritik. Padahal kritik juga sangat penting dalam mendampingi proses pembangunan.
Kritik bisa saja tanpa solusi. Orang yang melakukan kritik, sebenarnya orang-orang yang berusaha menyampaikan sesuatu, walau untuk sesuatu itu, tiada solusi yang ditawarkan. Bagi yang menerima kritik, seharusnya dengan adanya kritik –walau belum ada solusi—akan memudahkan yang bersangkutan mengetahui apa saja yang kurang. Catatan penting yang harus diberikan, bahwa pengkritik pun bisa tidak murni. Dalam sebuah kritik pun bisa didompleng oleh berbagai kepentingan. Ini juga masalah tersendiri.
Barangkali, seperti diingatkan Imam Ghazali, fisik dan hati harus diberdayakan, sehingga semua yang dilakukan selalu ada yang menilai. Masalahnya adalah ketika rasa yang menilai itu sudah menjadi corong berbagai kepentingan, maka tinggal masing-masing saja yang menjawabnya.