Rasanya sudah tidak jelas, terhadap siapa seseorang akan takut. Ketika menyebut nama Allah, sudah membuat kita tidak bergetar, entah terhadap siapa lagi yang akan ditakuti. Tetapi tunggulah sampai waktu kita masing-masing saat mempertanggungjawabkan segala sesuatunya.
Mungkin di dunia, saat tidak memikirkan tiba waktunya, kita belum apa-apa. Sehari-hari hanya mengejar berbagai ilusi. Apa yang diancamkan untuk manusia saat meninggalkan dunia, bisa jadi dianggap angin lalu pada saat ini. Sepertinya tidak semua orang membayangkan bahwa ada sesuatu yang akan terjadi, saat semua perilaku dan harta dipertanggungjawabkan.
Mengapa tidak semua orang berpikir? Jawaban bisa beragam. Mereka yang yakin selalu akan ada pertanggungjawaban, maka berbagai tingkah lakunya akan dijaga. Tidak mungkin menilep yang bukan haknya. Pasti akan mengembalikan berbagai hal yang bukan hak untuk menerimanya.
Zaman sudah bertukar punca. Sesuatu yang tidak sah seperti sudah tidak aneh. Sebaliknya, jalan lurus, kian menjadi aneh. Melakukan sesuatu yang tidak benar, sudah diterima sebagai hal yang biasa. Sebaliknya, yang baik dan benar, seolah sudah ketinggalan zaman.
Praktik yang sepadan dengan itu adalah memberi atau memberi sesuatu karena menerima jasa atas perlakuan sesuatu dari pelayan yang memerintah. Tidak ada yang memberi kalau tidak ada yang menerima. Tidak ada yang menerima kalau tidak ada yang memberi. Padahal dalam Kitab Suci tegas: pemberi dan penerima ancamannya sama.
Orang-orang dekat dengan kita, ketika mendapat amanah sesuatu, merasakan wajar apabila dalam waktu sekejap ia memiliki banyak kekayaan. Orang-orang yang bukan karena warisan, ketika mendapat amanah, lalu hartanya bertambah berlipat-lipat, lalu hartanya disyukuri bersama-sama.
Fenomena lain juga terlihat. Ketika ada seseorang di antara kita mendapat amanah, kita proklamirkan dia dengan kiriman proposal. Semua kendala pembangunan di kampung, kita serahkan ke pihaknya. Kita tidak peduli dari mana ia akan mendapatkannya.
Dengan skema begini, maka wajar apabila ada yang terjebak untuk menerima berbagai pemberian. Malah yang tidak diberi pun akhirnya ditagih, untuk menggapai target besar dari hubungan pertemuan tadi.
Lalu ada yang menyebut dengan Amdal. Ini bukan masalah analisis lingkungan. Seorang teman, dengan tanpa beban menyingkat Amdal dengan kata-kata: “asal masuk duit alhamdulillah”. Orang-orang tetap menyebut kata ini walau menerima yang bukan haknya. Berangkat dari fenomena yang saya ceritakan di atas.
Saya sendiri tidak setuju dengan kata alhamdulillah dipakai untuk konteks ini. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt. Pada dasarnya merupakan rasa syukur seorang hamba kepada Penciptanya. Ungkapan ini terkait dengan rezeki –yang berarti berurusan dengan sesuatu yang baik. Sesuatu yang halal.
Masalahnya adalah tidak semua duit yang masuk sebagai sesuatu yang baik. Tidak semua uang yang masuk ke kantong kita itu berasal dari sesuatu yang baik. Nah, ketika ada duit yang tidak baik, ilegal, tidak sah, tidak halal, masuk ke kantong kita, tidak layak kita sambut dengan alhamdulillah, maka di situlah letak masalahnya.
Ironisnya keganjilan ini seperti bukan masalah. Orang-orang yang mengemis jatah di banyak tempat, ketika menerima uang yang begitu juga dengan ucapan syukur.
Hal ini tidak aneh bila melihat polah di tempat kita, dalam semua lini harus membayar uang terima kasih. Bayangkan, untuk anggaran pembangunan masjid saja, ada potongan entah kepada siapa. Banyak masjid yang sedang dibangun besar dan megah. Dalam laporan secara berkala, panitia pembangunan juga tidak canggung menyampaikannya di depan jamaah, bahwa ada sekian rupiah diserahkan entah kepada siapa, dengan nama biaya administrasi. Bisa dibayangkan, untuk masjid saja demikian, apalagi untuk urusan yang lain. Masjid, jamak dipahami sebagai investasi amal. Investasi akhirat. Ketika di sana saja seperti sudah tidak bisa sebagai ladang untuk beramal secara benar, maka adakah jalan lain yang lebih mulia untuk mencapai jalan akhirat itu?