Keinginan untuk mencapai sesuatu, seringkali bukan karena niat tulus. Ada problem besar yang dihadapi banyak orang, yakni kebutuhan kerja. Setiap ada lowongan, sering tidak peduli bidang apa yang dibutuhkan, ingin mendapat satu tempat. Istilah yang sering terdengar, adalah untuk mengisi waktu, ada kesibukan, walau pendapatan pas-pasan.
Kita sering abai dengan pendapatan, padahal itu penting. Saat masuk ke dalam, kita baru sadar bahwa pendapatan di tempat tertentu tidak mencukupi. Akhirnya melakukan berbagai cara untuk mendapatkan pemasukan tambahan. Ada yang lurus, tetapi tidak jarang, memilih jalan-jalan yang liar dan buruk.
Dengan banyak pilihan jalan semacam ini, saat ada orang lain yang meminta pendapat tentang apa yang seyogianya dilakukan, kita sering tidak jawab dengan jujur. Kita jawab saja asal-asal, bahkan menjerumuskan. Untuk satu hal yang kita butuhkan, kita menjadikan orang sebagai ruang uji coba.
Untuk jangka pendek, mungkin saja kita akan mendapatkan keuntungan. Namun untuk kasus semacam ini, untuk jangka panjang, disadari atau tidak, juga akan membawa kerugian bagi kita.
Menjerumuskan, menjebak, atau apapun namanya, jangan menjadi pilihan. Kata-kata ini, mungkin ada yang lebih sepadan dalam bahasa Aceh, sering tertimpa orang-orang yang memiliki kelebihan, adalah peugrob. Terus-terus, saya tidak bisa menjelaskan bagaimana kata ini bisa muncul terkait konteks. Secara teks, peugrob itu berasal dari kata grob yang berarti loncat. Peu secara teks, sepertinya upaya me, yang bila disambung, me(mper)loncatkan. Kata ini, jika dilihat konteks, barangkali masuk dengan istilah menjerumuskan. Namun demikian, kata peugrob yang dalam konteks menjerumuskan, bisa jadi bagi para pelaku, disadari sedang mengompori orang untuk mau dipeugrob. Sebaliknya, mereka yang menjadi korban peugrob, kadang-kadang tidak sadar sedang berada dalam jebakan.
Kata jebakan sendiri, sebenarnya lebih berpretensi negatif, dari segi implikasi yang akan dialami oleh pelaku. Berbagai efek akan dialami oleh mereka yang melakukan grob, bukan oleh mereka yang peugrob.
Implikasi ini sangat hebat. Saya ingin cerita pengalaman. Dalam pemilihan umum dulu, saya lihat dari seorang teman kuliah dulu, yang dalam pemilihan legislatif, ikut bertarung memperebutkan satu kursi untuk dewan kabupaten. Ada banyak orang yang datang ke rumahnya, untuk memastikan bahwa ia akan mendapatkan banyak dukungan. Karena sudah terlanjur menerima kondisi yang nyaman untuk “grob”, teman itu sudah tidak memperhitungkan modal sosial dan ekonomi yang ia punya. Dalam hiruk-pikuk politik, ia sudah dengan percaya diri merasa bahwa satu kursi akan menjadi miliknya. Maka dalam bayangannya, ketika duduk di sana, akan mendapatkan fasilitas yang berbagai rupa, berbanding-bandinglah ia. Kira-kira, ia berpikir, dengan berbagai fasilitas yang akan didapat itu nanti, maka akan sebanding dengan pengeluaran sekian untuk menggapai itu. Maka mencari modal untuk itu, bukanlah sesuatu yang berat baginya. Ia memiliki beberapa harta yang bisa digadai, yang dalam waktu yang tidak terlalu lama, mungkin ia berpikir akan bisa menebusnya kembali.
Ia lalu memfasilitasi mereka yang peugrob. Setiap hari menerima kabar sumringah, tiada cacat, penerimaan baik, dan sebagainya. Ketika suatu waktu saya berkesempatan duduk di warung kopi tempat ia dan timnya mangkal, saya menanyakan satu hal sederhana: apa yang menyebabkan ia begitu dekat dengan kursi yang diidamkan? Jawaban ia juga sederhana: bahwa rakyat memang butuh orang yang seperti dia.
Orang ini termasuk ditokohkan dalam hal tertentu, mungkin bukan untuk kursi dewan, sebagaimana ia tangkap dari apa yang diyakinkan oleh orang-orang sekelilingnya. Dari wilayah itu, ada seorang anak muda yang sama sekali tidak dikenal publik, jarang duduk di warung kopi, namun sering berdiskusi dengan orang-orang. Ia tidak juga memiliki modal ekonomi yang besar. Orangnya pas-pasan dalam berbagai bidang.
Dua hari setelah perhitungan suara, waktu itu, saya dikabari oleh teman seangkatan yang lain, bahwa anak muda yang tidak diduga itu, mendapat satu kursi.
Percayalah, setelah tiga tahun berlalu, hingga hari ini saya sering menelepon teman yang gagal, namun tak pernah sekalipun bertanya tentang kegagalannya meraih satu kursi.