Hak menguasai negara, dalam konteks hukum, tiada henti didiskusikan. Terutama saat terkait dengan posisi negara dalam mengelola kekayaan alam yang ada di bumi, air, dan yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945.
Konteks Pasal 33 UUD 1945 tersebut, sebenarnya terkait dengan posisi hak menguasai negara –yang disebut sebagai doktrin. Sepanjang perjalanan bangsa, doktrin ini selalu dipertanyakan. Alasannya karena masing-masing rejim menggunakan doktrin tersebut untuk menguntungkan kekuasaannya. Sehingga terlihat konflik antara berbagai kepentingan pengunaan tanah dan sumber daya alam di dalamnya dengan kepentingan hak menguasainya.
Melalui serangkaian Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sebenarnya sudah ada upaya untuk memperjelas tafsir hak menguasai negara. Antara lain Putusan MK Nomor 022/PUU-I/2003, Putusan MK Nomor 72/PUU-VIII/2010, dan Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011.
Dalam Putusan MK Nomor 022/PUU-I/2003, sudah ditegaskan bahwa pengertian “dikuasai oleh negara”, tidak diartikan sebagai pemilikan dalam arti privat oleh negara. “Dikuasai oleh negara” harus diartikan mencakup makna penguasaan dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Ia terkait dengan tujuan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, sebagai amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Rakyat secara kolektif itu, dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan, untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dengan mandat tersebut, maka lima hal yang harus dilakukan negara adalah: Pertama, kebijakan. Penegasan kebijakan terkait dengan pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam penguasaan, penyediaan, dan pemanfaatan sumber daya alam. Melalui Putusan Nomor 72/PUU-VIII/2010, MK sudah menegaskan bahwa perencanaan pengelolaan sumber daya alam harus didasarkan pada prinsip efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. Tiga prinsip ini, berimplikasi bahwa perencanaan kebijakan yang kemudian akan diteruskan bagi pemanfaatan melalui kebijakan, harus dilakukan secara menyeluruh. Semua aspek harus dikaji, bukan hanya sisi pemasukan dan pendapatan.
Kedua, pengaturan, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah. Dalam konteks pengaturan, wujud konkretnya adalah mulai dari pembuatan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan keputusan yang bersifat mengatur hubungan hukum antara pemerintah, swasta dan masyarakat terhadap tanah dan sumber daya alam lainnya. Terkait dengan hal ini, melalui Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011, MK juga sudah menegaskan bahwa pejabat administrasi tidak boleh berbuat sekehendak hati dalam mengatur keberadaan sumber daya alam.
Ketiga, pengurusan, yang dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan, lisensi, dan konsesi. Apa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap fasilitas tersebut, terkait dengan hubungan hukum. Khususnya dalam wujud hak atas tanah kepada perseorangan, badan hukum, termasuk –yang sering dilupakan—keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat.
Keempat, pengelolaan, yang dalam konteks ini sudah diatur lebih luas, dimana pengelolaan tidak hanya dilakukan secara langsung oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pengelolaan dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara/daerah.
Kelima, pengawasan yang dilakukan secara internal oleh pemerintah sendiri. Pengawasan terkait dengan selalu mengawasi komponen pengelola sumber daya alam, mengevaluasi, melakukan audit, melakukan pengendalian, dan melakukan penegakan hukum agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber daya alam benar-benar dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Arizona, 2014).
Ada hal lain yang juga tidak boleh dilupakan, yakni tafsir atas frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi. Melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010, MK sudah menentukan empat tolok ukur “sebesar-besar kemakmuran rakyat” tersebut, yakni: (a) adanya kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; (b) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat; (c) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; (d) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Dengan demikian, tujuan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” tidak bisa dipisahkan dengan kewenangan penguasaan negara. Lebih jauh, ia juga terkait dengan cita-cita luhur bangsa yang sudah digariskan oleh para perumus Pembukaan UUD 1945. Cita-cita tersebut selaras dengan tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial.
Tidak boleh dilupakan bahwa cita-cita ini tidak sepenuhnya sejalan dengan kemajuan dan kepentingan kapitalisme dunia. Kekayaan kita melalui prinsip kekeluargaan bertarung dengan dominasi kepentingan perorangan di atas kepentingan orang banyak. Untuk memuluskan langkah kepentingan perorangan tersebut, tidak jarang hukum yang digunakan sebagai alatnya.
Tidak mengherankan, ketika kepentingan yang berbeda, akan melahirkan orientasi yang berbeda. Atas nama pembangunan, sumber daya alam kemudian hanya diorientasikan kepada pertumbuhan ekonomi, dengan melupakan fungsi lingkungan dan implikasi kerusakannya.
Atas orientasi tersebut, maka produk peraturan perundang-undangan kemudian dibangun dengan memosisikan sumber daya alam dalam kerangka eksploitasi. Implikasinya adalah keperpihakan sumber daya kepada pemodal dengan sifat pengelolaan yang sektoral.
Kondisi tersebut berlangsung sepanjang rejim. Hal ini menandakan bahwa walau sudah ada penegasan dari MK, konsep hak menguasai juga masih dipandang abstrak dan ragamnya penafsiran atas doktrin ini masih terus terjadi.
Undang-undang khusus yang terkait masyarakat adat, hingga sekarang belum tuntas. Posisi harmonisasi terkait sumber daya alam, juga masih selalu jadi pertanyaan. Posisi legislatif kita harapkan melakukan peran pengawasan dan mengeluarkan produk peraturan perundang-undangan yang tidak pro pemodal. Harus ada komitmen untuk melahirkan berbagai undang-undang yang merupakan kepentingan bagi perlindungan alam dan masyarakat yang berada di sekelilingnya. Legislatif harus selalu satu kata dan satu langkah dalam melakukan pengawasan dan berjuang mengeluarkan produk hukum yang berpihak terhadap kelestarian alam dan rakyatnya.