Jabatan

Jabatan itu adalah amanah. Lalu mengapa jabatan itu saling merebut. Ada yang dengan cara-cara yang lembut. Pun tak sedikit, orang merebut jabatan dengan cara-cara kasar dan menyedihkan. Dengan sistem sekarang, merebut jabatan berarti harus dilalui …

Jabatan itu adalah amanah. Lalu mengapa jabatan itu saling merebut. Ada yang dengan cara-cara yang lembut. Pun tak sedikit, orang merebut jabatan dengan cara-cara kasar dan menyedihkan. Dengan sistem sekarang, merebut jabatan berarti harus dilalui dengan memaksa orang memilih. Bentuk pemaksaan bermacam-macam. Uang atau iming-iming sesuatu yang membuat para pemilih terpesona. Bahkan hanya dengan secuil pemberian, hati pemilih bisa berubah.

Bukankah saat jabatan itu diperebutkan, di belakangnya ada sesuatu yang diharapkan? Ada kepentingan besar yang menyebabkan ia diperebutkan sedemikian rupa. Hal paling besar adalah menyangkut tumpuk. Masing-masing partai harus hidup dengan mesin yang sudah dihidupkan. Dan untuk menghidupkan itu, mesin tetap membutuhkan bensin dan semacamnya.

Dengan kepentingan tersembunyi demikian, maka para pekerja akan menggunakan berbagai cara. Ruang yang paling lembut adalah menyelundupkan sejumlah analis yang seolah-olah berbicara netral. Orang yang berbicara seolah-olah tidak ada kepentingan, namun berselimak pesan tersembunyi di dalamnya.

Hal ini yang dapat saya rasakan, beberapa waktu lalu ketika hajatan pemilihan dihidangkan. Saat hari momentum datang, semua televisi menyorot pemilihan kepala daerah secara langsung. Masing-masing televisi berlomba-lomba menghadirkan analis politik. Mereka yang agak terkenal sedikit, hilir mudik dari satu televisi ke televisi lain, dari satu tayangan ke tayangan lain. Kadangkala yang dibicarakan juga hal yang sama, tetapi kemudian dibumbui sedikit di sana sini untuk menampakkan ada sesuatu yang baru. Entah disadari atau tidak, komentar para analis dipegang oleh masyarakat, walau ada di antara analisis yang tidak tepat.

Dari siang, siaran langsung ditayangkan dari berbagai tempat. Dengan berbagai varian. Lalu saat mendekati sore, ketika perhitungan sudah mulai dilakukan, pembicaraan lalu mengarah ke tokoh. Siapa yang menang, siapa yang kalah. Perihal menang dan kalah adalah sisi lain dari pertarungan memperebutkan kursi kekuasaan. Sisi ini yang menjadikan mereka yang bertarung layaknya seperti sedang di atas ring, yang ketika pihak yang satu kalah, sangat sukar bagi pihak lain untuk menyapa dalam suasana yang menyejukkan. Tidak sedikit pula, mereka yang kalah lalu berupaya mencari berbagai kesalahan dan sangat sulit untuk menerima dan datang mengucapkan “ingatan” kepada mereka yang terpilih –saya tidak suka menggunakan kata menang—agar teguh memegang amanah.

Inilah zaman ketika kekuasaan saling diperebutkan. Seperti lomba, ia begitu menarik banyak orang. Katanya untuk melaksanakan pengabdian dan pelayanan terbaik terhadap rakyatnya. Entah ketika sudah memegang kuasa. Sebagai catatan, pengalaman masa sebelumnya, menurut catatan komisi pemberantasan korupsi, lebih sepertiga pejabat penting pemegang kuasa mendapat kasus dan terlihat dengan korupsi. Barangkali ada sesuatu yang sedang diperebutkan di balik kuasa yang sebenarnya.

Kekuasaan ini, tidak seperti perintah agama, untuk tidak saling meminta. Katanya, kekuasaan justru harus diminta. Tidak menunggu ada orang yang datang dan meminta untuk melayani mereka. Dalam kamus kekuasaan kontemporer, sepertinya apa yang disebut permintaan untuk melayani mereka yang diserahkan kekuasaan, sudah tidak ada lagi. Yang ada ada perebutan untuk mendapatkannya. Berbagai koalisi dan afilisiasi dibentuk untuk mendapatkan itu. Di mulut membicarakan pelayanan, sedangkan kenyataan pemegang kuasa, di awal jabatan selalu dengan anggaran baru, mobil dinas baru, pakaian baru, sampai –mungkin celana dalam baru.

Tidak banyak mereka yang terpilih lalu menghabiskan waktunya dengan sepenuh hati dalam melayani rakyat. Dari 400 lebih pemilik kuasa tingkat kabupaten/kota, hanya beberapa saja yang menonjol yang diagung-agungkan oleh rakyat karena keberpihakan mereka terhadap lainnya. Lalu ke mana yang lain. Bukankah yang lain adalah para pengejar fasilitas dengan menggunakan uang rakyat?

Inilah zaman yang semakin sulit mendapatkan sebagaimana setiap doa khatam al-Quran kita berdoa, tentang dua titik penting yang luput dari perhatian. Doa pertama, “Ya Allah, jangan jadikan dunia sebagai tujuan dari ilmu kami”. Lalu doa yang kedua, “Ya Allah, jangan jadikan dunia sebagai tujuan dari hidup kami”.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment