Duniawi

Pernahkan Anda mendengar, atau bahkan melihat bagaimana orang tua mempersiapkan anaknya? Mempersiapkan dalam konteks ini memikirkan kondisi anak suatu saat nanti. Di bangku sekolah, dari awal-awal seorang anak sekolah, sudah dijajal berbagai cita-cita yang dalam …

Pernahkan Anda mendengar, atau bahkan melihat bagaimana orang tua mempersiapkan anaknya? Mempersiapkan dalam konteks ini memikirkan kondisi anak suatu saat nanti. Di bangku sekolah, dari awal-awal seorang anak sekolah, sudah dijajal berbagai cita-cita yang dalam pikiran para orang tua, adalah sesuatu yang bisa membahagiakan.

Konteks membahagiakan yang dimaksud seringkali sangat material. Saat anak ditanyai cita-cita, maka jawaban dominan adalah sesuatu yang terkait dengan uang, yang dibayangkan bisa mendatangkan kebahagiaan itu. Suasana yang demikian kita alami bertahun-tahun di bangku sekolah.

Lalu pernahkah kita terbelalak, saat orang-orang yang materil sekalipun menyebut kekayaan batin sebagai investasi masa depan? Investasi itu tidak semata soal uang dan harta yang sifatnya materil, melainkan juga kekayaan batin seperti kejujuran dan semacamnya.

Begitulah. Bagaimana seseorang mempersiapkan masa depan anak, dalam konteks duniawi, dapat menjadi contoh mengenai seperti apa masa depan manusia yang dibayangkan. Bayangan, yang kemudian dikerucutkan melalui wajah cita-cita. Atas kepentingan duniawi itu, anak-anak kemudian dipersiapkan, dengan mengatur kehidupan mereka yang harus dijalani, agar mencapai apa yang menjadi cita-citanya. Sekali lagi, bahwa cita-cita yang ditargetkan, umumnya dalam lingkup duniawi. Sedikit orang yang mempersiapkan anak dalam konteks investasi bagi kehidupan setelah dunia.

Dalam kenyataan, kita bisa menyaksikan orientasi kehidupan duniawi itu dengan berlomba-lomba mempersiapkan kebutuhan dunia. Orang tua melakukan apa pun bagi sekolah dunia anak. Setiap pagi mengantar dengan bersahaja. Proses masuk sekolah yang semakin tahun semakin ribet, juga dilalui orang tua dengan bersahaja juga. Berbanding terbalik dengan bagaimana ketika anak dibiayai untuk menjalani pendidikan yang berkaitan dengan agama. Anak-anak ketika menjalani pendidikan dini al-Quran, diantar di waktu sambilan. Untuk biaya pendidikan kelas ini, rata-rata memilih yang bisa semurah mungkin. Ketika ada biaya tertentu yang akan dikutip, dipertanyakan sampai ke ujung. Sebaliknya, untuk pendidikan yang lain, justru ditanyakan kebutuhan apa lagi yang harus dipersiapkan.

Sebagian pihak merasa tak perlu diperdebatkan lagi antara pendidikan umum dan agama. Tetapi yang saya bicarakan tidak sepenuhnya pendidikan agama –dalam konteks pendidikan formal. Secara formal, walau dikotomi itu sudah mulai dikritik, kenyataannya tidak demikian. Banyak fasilitas muatan pendidikan agama hanya dipasang-pasangkan saja. Seperti seorang ulama yang diundang dalam suatu acara penting, tidak untuk memberikan pendapat pentingnya, melainkan hanya untuk membaca beberapa patah doa penutup. Konon lagi informal, yang dalam beberapa hal, perkembangan lembaga pendidikannya kembang-kempis.

Persiapan mengenai anak itu itulah yang saya maksudkan bisa menjadi analog bagaimana manusia mempersiapkan kebutuhan dunianya sedemikian rupa, dibandingkan dengan kebutuhan ukhrawinya. Padahal manusia sadar bahwa hidup di dunia sesungguhnya hanya satu babak saja dari perjalanan panjang manusia. Manusia sadar bahwa pada suatu waktu, kehidupan dunianya akan berakhir, dan akan berlanjut ke kehidupan lainnya. Namun kesadaran ternyata belum cukup untuk membangkitkan semangat dalam mempersiapkan akan melakukan apa menghadapi kebutuhan kehidupan zaman lainnya itu.

Sepertinya, manusia bukan lupa mempersiapkan hidup setelah hidup dunia. Ada kecenderungan, manusia terpedaya dengan banyak pesona kehidupan dunia, sehinga tidak berdaya untuk mempersiapkan kebutuhan kehidupannya setelah dari dunia. Ada ketidakberdayaan manusia, walau ia sadar sepenuhnya.

Kesadaran bahwa dunia dan ruang-ruang kehidupan di dalamnya adalah fana, belumlah cukup. Ia harus dibarengi dengan mempersiapkan secara serius dalam menghadapi kehidupan sesudahnya. Seharusnya mempersiapkan kehidupan itu, sebagaimana kita begitu serius mempersiapkan kehidupan di dunia ini.

Sebelum terlambat, mari kita mempersiapkannya dari sekarang. Jangan menunggu besok pagi, karena satu waktu ke depan, kita tidak tahu apa kita masih ada dan apa yang akan terjadi.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment