Biasanya, kita selalu bisa memilih. Di hadapan kita tersedia berbagai pilihan. Ada yang dengan mudah, tidak jarang harus dilakukan dengan susah-payah. Betapa banyak manusia melakoni sesuatu yang buruk walau harus dicapai dengan tingkat kesulitan tinggi? Tidak sedikit bergerak ke jalan lurus bisa dilakukan dengan mudah, namun tidak dilakukan.
Kenyataannya sesuatu yang tidak baik itu bisa diorganisir. Berbagai momentum yang ada bisa dimanfaatkan dalam mencapai sesuatu yang tidak baik itu. Orang-orang yang berpikir pemasukan, lantas meninggalkan moral dan etika, apapun akan dilakukan. Bayangkanlah bagaimana manusia mau dan mampu memerankan berbagai hal yang memuakkan, demi mendapat sejumlah pemasukan yang sudah dianggap sebagai dewa.
Orang-orang yang kadung memandang pendapatan sebagai alat ukur dalam hidup, tidak masalah melakukan apapun. Orang-orang yang begini akan mengatakan bahwa moral dan etika bisa didudukkan dulu di satu ruang, lantas setelah memerankan sesuatu yang buruk, ia bisa dipakai kembali.
Dalam bulan ini, bongkar-pasang moral bisa dilihat. Orientasi bisa dibaca. Saluran televisi menampakkan keinginannya sendiri. Keinginan untuk mencapai hasil besar, diawali kreativitas menurut mereka. Kreativitas dimunculkan dalam rangka mencari sebanyak mungkin untung –yang keuntungan itu diperoleh berdasarkan penontonnya.
Ada berbagai cara dilakukan cara untuk menarik penonton. Ada cara-cara biasa. Pun ada cara-cara yang tidak biasa. Ada cara yang bersih. Pun tidak jarang dilakukan cara-cara yang kotor dan licik. Orang digoda untuk menonton, padahal orang-orang yang menonton tidak selalu memahami apa sesungguhnya yang ditontonnya.
Semua tontotan pada akhirnya dikaitkan dengan masing-masing momentum. Tinggal dipasang-pasang saja hal tertentu dengan momen tertentu. Tidak masalah apa yang dihadirkan itu terkesan disambung-sambungkan, karena indikator mereka pada penonton yang banyak.
Pada bulan ini demikian juga. Berbagai tayangan disesuaikan dengan kesan bulan mulia ini. Ceramah semakin diperbanyak, walau antara isi dan penceramah belum tentu sepadan. Semua mata acara kemudian disesuaikan dengan kepentingan agama –yang dalam praktik disederhanakan dengan menggonta-ganti pakaian yang dipakainya.
Begitulah yang saya ingin gambarkan betapa gonta-ganti itu sering terjadi dalam bulan ini. Begitu mudahnya pakaian pembawa acara tinggal digonta-ganti saja sesuai dengan yang diinginkan. Seolah tugas pembawa acara terlepas dari moralnya. Seharusnya mereka yang menerima order untuk berperan dalam tayangan yang menelanjangkan tubuh, harus berani menolak untuk tayangan yang mensyaratkan untuk menutup tubuh. Mengapa ini bisa digonta-ganti? Karena peran ini dianggap profesional yang bisa dilepaskan dari posisi moral agamanya. Jadi bagi sebagian orang, peran itu hanya terkait berapa mereka akan dibayar. Hanya sebatas itu.
Lantas siapa yang peduli dengan keadaan ini? Barangkali proses mencari uang yang menjadi alasan, lalu membiarkan cara-cara yang justru merusak karakter bangsa? Pertanyaannya siapa peduli dengan karakter? Kecuali untuk proyek atas nama peradaban?