Imam Ghazali menyebut tingkatan orang berpuasa itu mulai dari yang biasa, hingga yang memahami hikmah tertinggi dari puasa. Ada puasa orang awam dan ada yang sudah mencapai paripurna. Orang awam, puasa itu hanya untuk mengugurkan kewajiban. Tidak lebih. Orang semacam ini –mudah-mudahan kita tidak termasuk di dalamnya—berpuasa hanya mendapat hasil berupa lapar dan dahaga.
Pada lapis kedua, orang yang tidak sebatas hanya menahan diri dari yang membatalkan puasa, melainkan dari berbagai hal yang membatalkan pahalanya. Pada lapis ketiga, sudah pada posisi orang yang melakukannya dengan penuh rasa bahagia, sehingga bisa dikategori sebagai paripurna. Orang yang disebut terakhir ini sudah pada tataran mengabdi dengan sepenuh hati, tidak setengah-setengah. Imannya sudah mantap, penyerahan diri sudah total, dan semua dilakukan dengan perasaan bahagia.
Orang yang disebut terakhir yang sepertinya selalu merindui puasa. Orang-orang yang sudah merasakan hikmah dengan segenap penyerahan jiwa dan raganya. Puasa sudah jauh dari beban ibadah. Segala sesuatu yang dilakukan sebagai makhluk dalam konteks ibadah, tidak lagi berhenti pada kewajiban, melainkan sudah pada kebutuhan.
Logika semacam ini yang seharusnya menjadi semangat kita, agar setiap momentum puasa, tidak menjadi alasan untuk mengurangi berbagai produktivitas dan kreativitas. Tidak menjadikan puasa sebagai alasan untuk bermalas-malas diri yang akhirnya menurunkan semangat hidup dan berkehidupan dengan normal.
Menjaga kualitas dan kuantitas yang bahkan melampaui hari-hari biasa sangat penting, agar tidak timbul kesan bahwa setiap datangnya puasa membuat harus banyak diberikan dispensasi dalam melaksanakan berbagai kewajiban.
Masalah produktivitas dan kreativitas menjadi sangat penting dalam hidup. Momentum puasa seharusnya membuat seseorang lebih kreativitas dan produktif. Seyogianya tidak alasan bahwa karena ibadah puasa, lantas bermalas-malasan. Dengan puasa justru membuat banyak waktu bagi kita untuk merenung. Dengan demikian ada dua capaian yang berkemungkinan diperoleh. Pertama, produktivitas dan kreativitas yang meningkat. Kedua, ibadah puasa sebagai sebuah kewajiban akan terlaksana sebagaimana yang diharapkan.
Secara tidak sengaja, suatu waktu saya bertemu seorang guru. Pertemuan ini tidak pada tempat yang tepat. Memang pada waktu yang tepat. Waktu pagi yang masih segar. Tempat dan waktu yang tepat biasanya akan menentukan apa yang dibicarakan. Tempat dan waktu yang tepat ini bisa digunakan secara baik maupun untuk membela yang tidak lurus. Dalam beberapa persidangan kasus korupsi, mereka yang cerdas mencoleng uang rakyat, menggunakan istilah tempat waktu yang (tidak) tepat untuk menjawab berbagai pertanyaan menyudutkan dari hakim. Seseorang yang berada pada tempat dan waktu yang tidak tepat, walau akhirnya bisa dibuktikan bersalah, berpeluang untuk mendapat pertimbangan untuk pengurangan hukuman.
Demikianlah. Waktu yang tepat dan tempat yang tidak tepat, ketika saya bertemu guru. Kami bertemu seperti dalam lalu-lintas kendaraan yang berlalu begitu saja. Ada sebuah lorong tempat hilir-mudik mahasiswa dari satu ke gedung lain, lantas saya berpapasan dengan guru. Karena sudah sering diskusi, sejenak kami saling menyapa dan membicarakan beberapa hal sambil berdiri di jalan itu. Yang saya ingat, satu hal yang ditanyakan adalah mengenai bagaimana kondisi berpuasa. Jawaban saya sederhana: lebih enak menulis ketika puasa. Alasannya juga sederhana. Ketika sedang menulis, saya tidak memikirkan banyak persiapan, misalnya harus pulang siang ke rumah. Saya bisa fokus mencari bahan di pustaka atau terus menulis.
Berbeda dengan saya, ternyata guru saya itu justru sebaliknya, tidak bisa terlalu fokus ketika sedang berpuasa. Makanya ia menulis sesuatu hanya bisa dilakukan ketika malam tiba –sesudah berbuka, atau menjelang sahur. Perut kosong memberi pengaruh bagi energinya dalam menulis. Makanya baginya waktu yang tepat untuk menulis selalu dalam waktu-waktu tersebut. Tersebutlah kondisi lapar –bahasa lain dari perut kosong. Dari sesuatu yang serius lalu mengalir ke hal yang sederhana. Masalah lapar –hal yang merupakan hikmah agar orang-orang berpuasa juga merasakan secara lahir maupun batin dari kondisi orang yang lapar. Sebagai sebuah hikmah untuk merasakan kondisi tersebut, dipadukan sebagai kewajiban dari agama, maka melakukannya bisa dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Orang yang merasakan lapar, atau mencoba merasakan lapar, tidak selalu harus mengeluh tentang kondisi laparnya itu. Maka sesuatu yang dilakukan dengan ikhlas dan tidak berbeban, sesuatu yang bagi sebagian orang terasa berat bisa lebih menyenangkan. Kondisi ini banyak saya dengar dari sejumlah bahwa betapa menyenangkan melakukan berbagai aktivitas dalam bulan penuh rahmat ini. Mereka yang penulis, teman-teman saya itu, juga banyak yang merasa lebih bahagia menulis dalam kondisi lambung yang sedang beristirahat.
Secara khusus, saya mendapat sebuah pesan pendek yang sangat menggugah dari seorang penulis. Bahwa dirinya sangat bisa meresapi apa yang ia tulis ketika sedang merasakan lapar. Dengan kondisi itu, ia bisa merasakan betapa orang-orang yang lapar merasakan kondisi itu berwaktu-waktu –dan oleh sebagian orang di sekelilingnya dibiarkan bertahun-tahun.
Berbekal pengalaman inilah, maka seharusnya berbagai aktivitas di bulan penuh berkah ini harus selalu meningkat kualitas dan bahkan kuantitasnya. Dengan melakukan sesuatu secara kreatif, seyogianya melahirkan kebahagiaan yang berimplikasi kepada peningkatan produktivitas dan kreativitas. Mungkin terlalu berlebihan, namun bukan berarti tak ada orang yang tidak mampu menjalankan segala tugasnya secara bahagia di bulan penuh berkah ini.
Mengapa kita tidak mampu mencapai posisi yang demikian? Orang-orang yang optimis akan bertanya, siapa bilang tidak mampu?