Apa yang akan Anda rasakan, saat mengetahui ada orang lain yang sangat mirip dengan orang yang Anda hormati? Bahkan Anda tidak bisa membedakan, sehingga orang tersebut benar-benar dikira sebagai orang yang Anda hormati tersebut? Mungkin bercampur aduk.
Pertanyaan yang sama, tentu juga untuk mereka yang dikira orang penting. Bagaimana perasaannya, jika tiba-tiba ada orang lain, termasuk orang penting, mengira Anda sebagai orang penting? Mungkin juga sama. Masalahnya jantung Anda akan berdegup kencang, jika yang dikira tersebut orang yang tidak bersahabat dengan baik. Bersyukur jika tokoh yang dikira sebagai orang baik.
Begitu selalu. Ada dua perasaan yang dirasakan oleh penduga dan yang diduga. Semua baru lega saat mengetahui ternyata tidak seperti sebenarnya.
Suatu hari ada satu pengalaman saya. Seorang hakim kota, terlihat tidak tenang. Dari jauh, terlihat seperti orang yang sedang berhadapan dengan susana tertentu. Sebelum seminar dimulai, sudah dua kali ia ke toilet. Mohon maaf, saya tidak memperhatikan khusus. Dua kali itu jumpa karena dua kali pula, saya karena terlampau dingin ruangan, juga ke toilet di sisi yang berbeda.
Ia menjadi nara sumber seminar di kampus. Panitia seminar kebetulan teman. Karena terkait dengan riset studi saya, melalui teman itu saya minta ijin mengikutinya. Setelah ia berdiskusi dengan panitia yang lain, saya diberitahu untuk ikut acara tersebut.
Saya merasa aneh karena tidak biasanya memperhatikan seseorang dengan gugup. Saya dan dia, dari segi tempat duduk, sebenarnya memiliki jarak. Saya duduk di barisan kedua dari belakang.
Ketika ada kesempatan tanya, saya salah seorang yang mendapat kesempatan. Ketika saya perkenalkan diri, nama saya Sulaiman, dari Universitas Syiah Kuala, saya melihat sang hakim menarik nafas panjang.
Teman saya yang menjadi panitia, mengejek saya. Ia menghampiri saya ketika break. Katanya, “apa kamu merasa mirip FB?”
Tentu saja saya kaget dengan pertanyaan itu. Kaget karena mengapa tiba-tiba pertanyaan itu yang hadir. Saya merasa tidak memiliki hubungan apapun dengan FB itu.
Saya hanya sering membaca artikelnya. Berita mengenai FB juga sangat banyak. Ia dosen Universitas Indonesia, ahli ekonomi dan terkenal. Wajar dalam hati saya mempertanyakan apa hubungannya.
Selidik punya selidik, akhirnya ketahuan sendiri. Teman saya itu membuka pesan pendek dari sang hakim. Pesan pendeknya bernada memarahi.
“Mengapa panitia tidak memberitahu saya kalau ternyata ada hadir Bapak FB juga?” begitu pesan pendeknya.
Teman saya itu, lama merenung. Hingga pesan itu tidak dibalas. Baru setelah saya mengajukan pertanyaan, ketika break, sang hakim mendekati teman saya yang panitia itu untuk mengklarifikasi pesan pendeknya. Katanya ia terlanjur mengirim pesan.
“Saya kira tadi Bapak FB,” katanya.
Saya tidak tahu persis apa yang mengikat batin sang hakim dengan FB. Dengan suasana demikian, saya merasakan ada sesuatu yang sangat takjup sang hakim dengan FB. Barangkali juga ia memiliki pengalaman khusus atau pernah berhadapan dengannya. Semua bisa jadi dan saya tidak ingin menduga-duga.
FB sendiri juga memiliki beberapa peran dalam beberapa masa. Dalam batin saya juga merasa wajar bila seorang hakim yang bertugas di kota, menjadi nara sumber seminar, tiba-tiba melihat ada tokoh nasional yang duduk sebagai peserta dan mendengar secara khitmad apa yang dibicarakannya dalam seminar itu.
Sekali lagi, untuk suasana yang demikian, saya bisa pahami. Saya tidak ingin menduga-duga, kalau ternyata, masalahnya tidak demikian. Saya persilakan tanya sendiri sama pak hakim.
Tetapi sesampai di rumah, saya merenung, apa saya semirip FB itu ya?