Mengaduh

Mengeluh sering menjadi pilihan manusia. Sedikit masalah, bisa mengeluarkan keluhan yang tidak sebanding dengan masalah itu. Keluhan jauh lebih besar dari masalah. Bahkan, tidak jarang, orang yang sebenarnya tidak memiliki masalah pun, tetap mengeluarkan keluhan. …

Mengeluh sering menjadi pilihan manusia. Sedikit masalah, bisa mengeluarkan keluhan yang tidak sebanding dengan masalah itu. Keluhan jauh lebih besar dari masalah. Bahkan, tidak jarang, orang yang sebenarnya tidak memiliki masalah pun, tetap mengeluarkan keluhan.

Kamus Bahasa Indonesia memberi petunjuk, bahwa keluhan dari asal kata keluh, adalah ungkapan yang keluar karena perasaan susah (karena menderita sesuatu yang berat, kesakitan, dan sebagainya). Dengan konsep ini, keluhan seharusnya ada pemicu dan mungkin pemacu.

Kenyataan tidak demikian. Keluhan bisa saja dihadirkan orang untuk menggambarkan dirinya sangat menderita. Sesuatu yang tidak dirasakan, lalu diungkapkan seperti ada sesuatu yang diderita. Hal demikian sering terjadi, apalagi jika dalam kondisi mengharap iba orang lain.

Orang yang sakit kadang-kadang juga begitu. Mengaduh lebih besar dari yang diderita. Kita tidak bisa berhenti untuk mengeluh dan mengaduh, seperti orang-orang yang menderita karena membahagiakan banyak orang di sekelilingnya.

Saya punya satu pengalaman menarik. Suatu kali, saya berkesempatan mengunjungi teman di Bangi. Sudah beberapa kali saya ke tempat dia. Kali ini sebenarnya ingin menggunakan kesempatan untuk duduk lama di pustaka sambil membaca dan menulis.

Waktu itu ada satu hambatan serius. Tiba-tiba, asam urat saya naik. Asam urat, penyakit yang disebabkan meningkatnya purin di dalam darah. Penyebabnya adalah makan yang mengandung purin. Ketika terasa sakit, saya coba mengulang ingatan ke belakang, untuk mengingat apa yang saya makan dua atau tiga hari sebelumnya. Ternyata tidak ada yang berlebihan.

Sudah menjadi kebiasaan saya saat akan pergi, akan menjaga makanan yang dikonsumsi. Sebenarnya ketika di kampung pun, saya menjaga makanan. Memperbanyak minum air putih, dan mengurangi berbagai makanan bersantan dan lemak. Walau suasana yang saya sebut terakhir itu serba sulit. Untuk kampung yang tiada henti ada hajatan, maka kuah kari dan kuah beulangong menjadi satu suguhan yang tiada pernah henti. Konon lagi masyarakat saya itu sangat dekat dengan pelaksanaan kenduri yang selalu diiringi dengan makan. Kenduri sedikit saja, selalu ada kuah kari seperti menjadi menu utama.

Ketika tiba di kampung pun, tiada henti teman mengajak makan dengan menu kuah kari. Hampir tiap hari. Sulit mengelak. Apalagi banyak warung yang tidak menyediakan alternatif lain selain kuah kari.

Ketika pertama terasa sakit di kaki, saya meraba-raba tentang penyakit apa. Lalu ke dokter, di cek darah. Di situlah saya ketahui asam urat yang tinggi. Sedangkan kondisi yang lain biasa saja.

Waktu itu, pertanyaan dokter sederhana, berapa kali seminggu makan dengan menu kuah kari? Karena waktu itu baru sampai di kampung, saya katakan bahwa saya sangat suka. Kurangi! Begitu perintah dokter.

Memang menurutnya, kuah kari bukan penyebab utama asam urat. Namun beberapa isi kuah kari sangat berpotensi naiknya asam urat dalam sekejap. Terutama untuk masakan yang tidak memisahkan jeroan yang bercampur daging dalam kuah, sangat enak di mulut, namun berefek bagi tubuh.

Sejak saat itu, saya sudah mulai menjaga makanan. Merasakan sakit yang begitu rupa, rasanya tidak ingin mengulangi.

Ketika sakit itu saya ceritakan ke teman, ternyata ada beberapa sudah merasakan yang sama. Ada satu teman yang mengingatkan, bahwa asam urat sebenarnya sedikit ketidakseimbangan dari bagian tubuh. Itu baru sedikit saja, sakitnya sudah begitu. Apalagi sakit yang lain.

Saya merenung, benar bahwa ketika sehat kita sering lupa untuk mengingat sakit, sekaligus mengingat apa yang seharusnya kita ingat. Ketika sedang sakit, kita baru tahu nilai sehat yang seharusnya dengan sepenuh hati kita syukuri. Sayangnya ketika sehat, kita lewatkan begitu saja.

Kepada teman di Bangi, saya juga bercerita begitu. Tanggapannya sederhana. Katanya, bila masih ada orang tua dan sedang sakit, rawatlah dengan memahami rasa sakitnya. Keluhan orang tua hanya secuil dari penderitaannya dalam merawat kita.

Subhanallah.

Leave a Comment