Satu hal yang keliru adalah tidak mempersiapkan diri untuk berangkat agar bisa sampai ke lebih cepat ke tujuan. Pepatah lama menyebutkan, biar lambat asal selamat. Berjalan sedikit lambat, namun dengan berangkat di waktu yang tepat, mudah-mudahan akan sampai tepat pada waktu yang diinginkan.
Bukankah semua proses bisa diperkirakan? Tentu dalam konteks usaha. Kenyataan tidak selalu mencerminkan dari apa yang menjadi usaha (ikhtiar). Untuk hal ini, ikhtiar adalah wajib, namun apapun hasilnya tidak semata ditentukan oleh kita sendiri.
Atas dasar itulah, ikhtiar untuk berangkat cepat pada kondisi yang semakin melambat, bisa menjadi pilihan. Banyak hal yang akan terselamatkan dengan proses demikian. Dengan kondisi yang masih segar, lalu sepanjang perjalanan juga terjaga kesegaran itu, hasilnya di tempat tujuan juga segar.
Jangan diikuti kebiasaan orang banyak, yang serba ingin memudahkan. Keluar pagi dari rumah, pada waktu yang sudah tidak tepat. Banyak orang pada waktu itu dalam kondisi terburu-buru. Banyak kepentingan di waktu pagi. Ada yang ingin cepat sampai di kantor, mungkin sehari sebelumnya sudah terlanjur berjanji untuk melapor hal tertentu lebih cepat kepada atasan.
Atau, di antara rombongan, ada yang berkepentingan untuk mengantar anaknya ke sekolah, apalagi anak yang mau diantar itu ternyata terlambat bangun. Bisa jadi karena berjanji dengan orang lain di warung kopi, seandainya tidak bisa bertemu pada jam sekian maka harus datang ke kantornya yang jauhnya minta ampun.
Kebutuhan begitulah yang sering dirasakan banyak orang orang di waktu pagi. Kebutuhan ini tidak hanya dirasakan oleh orang tertentu saja. Karena kebutuhan banyak orang, sungguh dibutuhkan sikap sabar dan santun. Dalam posisi demikian, berpikir secara bijaksana pun sangat dibutuhkan, bahwa orang lain sama seperti kita, membutuhkan hal serupa.
Kenyataannya, justru yang kita perlihatkan sering sebaliknya. Ketika pagi, banyak orang yang sepertinya hanya butuh orang lain merasakan apa yang ia butuhkan. Pada saat yang sama, tidak ada sikap untuk mencoba memahami apa yang dibutuhkan orang lain. Persoalan mendesak, sudah terlambat, ingin cepat sampai, semuanya seolah hanya kita yang membutuhkan, orang lain tidak. Orang lain seolah tidak membutuhkan apa yang kita butuhkan.
Sikap tidak merasa ini, melahirkan perilaku suka-suka. Sudah tahu jalan penuh, tidak ada lajur untuk bisa dilalui. Pilihannya harus menunggu orang yang di depan jalan lebih dahulu. Disebabkan karena seolah-olah hanya kita, maka pengendara sangat suka membunyikan klakson. Sambung-menyambung. Klakson yang seharusnya berguna untuk mengusir binatang, dipakai berlebihan untuk memberi kode kepada manusia. Dan ini dilakukan berulang-ulang dengan tanpa beban.
Suatu waktu orang sabar berjumpa dengan orang yang temperamen. Orang yang tidak sabar membunyikan klakson. Orang temperamen lihat ke belakang. Katanya: apa tidak kamu lihat tidak ada jalan yang bisa dilalui? Orang yang di depan tidak kalah semangat. Katanya: kamu yang tidak berusaha jalan. Orang yang di depan mengeluarkan rumus baru. Katanya: Bang, cari sayap saja supaya motor bisa terbang, atau buat jalan sendiri yang bisa jalan seenaknya. Lalu sahut-menyahut berlangsung lebih dalam dan lama.
Keluar rumah dari tiada masalah menjadi bermasalah. Yang kasihan adalah anak-anak yang diantar, melihat orang tuanya saling sahut-sambut, persis seperti perilaku mereka yang masih anak-anak.
Semua itu adalah contoh efek dari tidak sabar dalam menggunakan jalan. Orang yang mementingkan diri sendiri dan merasa seolah hanya dirinyalah yang patut dan memiliki kepentingan di jalan. Jiwa seperti ini tentu tidak sehat. Harus ada kekuatan yang bisa menyehatkan jiwa dan raga ketika menggunakan jalan raya. Harus ada pihak dan orang-orang santun yang bisa memelopori cara sehat berkendara, lahir dan batin.