Ketika menulis kolom ini, tentu, saya tidak sedang main-main. Saya teringat satu pesan penting, bahwa setiap hari seseorang harus memperbaiki kualitas hidupnya, dan ini dilakukan oleh orang yang semakin kuat imannya, dan mereka yang rapuh dalam menghadapi kehidupan. Kategori yang kedua saya sebut, termasuk di dalamnya orang yang berencana akan melakukan atau mengulangi kejahatannya.
Ada satu berita koran lokal, dalam minggu ini, memberitakan bagaimana dua orang yang misterius sedang berusaha membujuk seorang anak yang baru keluar dari sekolah. Mereka menyediakan permen, uang, hingga apa yang disukai anak. Dengan demikian, mereka sudah mempelajari kebiasaan anak, sekaligus bagaimana pengamanan terhadap mereka.
Orang-orang yang menjadi tersangka narkoba, berdasar racikan sendiri, umumnya dilakukan dengan mempelajari dari orang lain secara paripurna. Pencuri yang semakin menggelisahkan, juga belajar dari pengalaman mereka sendiri. Mereka terus berusaha memperbaiki diri dalam hal mencapai kualitas kejahatannya. Bukankah pelaku kejahatan sekali pun, berusaha untuk memperbaiki apa yang akan mereka lakukan? Suatu jalan belakang yang buruk, tetapi mereka belajar agar dalam melakukan aktivitasnya, akan tercapai dengan mulus.
Sejumlah peristiwa kriminal mutakhir, pelaku kriminal justru menjadikan jurus baru yang jitu. Mereka berpura-pura baik untuk melakukan kejahatannya. Saat semua elemen sedang sibuk dengan Virus Corona, mereka lalu menggunakan alasan seolah-olah sebagai pihak yang sedang memeriksa keadaan kesehatan lingkungan. Saat menggejala suatu aktivitas yang menarik perhatian, mereka menggunakan jalur itu.
Pelaku kejahatan, berdasarkan apa yang saya ungkapkan, sepertinya terus berbenah, termasuk dengan cara berpura-pura berbuat baik. Kadang-kadang berpura-pura berbuat baik demikian, berimbas pada kesalingcurigaan orang-orang yang menerima perbuatan baik, di kemudian hari. Setelah terjadi berbagai kejahatan dari mereka yang berpura-pura berbuat baik, pada akhirnya mereka yang tulus berbuat baik, sedikit banyak akan berpengaruh.
Namun yang harus disadari bahwa “kejahatan” dan “perbuatan baik” adalah sesuatu yang bertolak belakang. Kejahatan merupakan perbuatan yang jahat, sifat yang jahat, atau perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku. Asal katanya “jahat”, yang berarti sangat jelek, buruk, sangat tidak baik, terkait dengan kelakuan, tabiat, dan perbuatan. Sedangkan perbuatan baik adalah sesuatu yang diperbuat atau dilakukan sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Kata membantu, terkait dengan upaya untuk memberikan pertolongan bagi orang lain yang membutuhkan. Kata membantu seyogianya berimplikasi kepada perbuatan baik.
Berangkat dari yang demikian, sesungguhnya berpura-pura baik itu menjadi modus untuk memuluskan suatu kejahatan. Berpura-pura berbuat baik untuk memuluskan sesuatu yang buruk. Niat buruk yang diawali dengan berpura-pura perilaku yang baik. Kejadian menimpa pada orang yang tidak dekat. Pelaku melihat ada orang lain yang seperti kebingungan mencari alamat, lantas menawarkan diri untuk membantu. Ketika ada kesempatan, maka kejahatan berlangsung. Untuk orang dekat, modus semacam ini akan sulit. Untuk orang dekat, ada modus yang lain. Orang-orang yang sudah mendapat kepercayaan dari korban, umumnya pelecehan seksual. Seperti kata pepatah, “pagar makan tanaman”. Pelaku kejahatan dengan berbagai bentuk, sudah banyak dilakukan orang yang seharusnya menjaga korban. Orang dekat yang memerkosa. Penjaga rumah yang mencuri. Pembantu rumah tangga yang membawa lari anak majikan.
Kejahatan tersebut berlaku dalam suasana saling percaya antara pelaku dan korban. Orang yang dipercaya, diyakini tidak akan melakukan hal-hal yang sebaliknya. Bahkan media pernah menyebut dengan istilah kejahatan dari orang dekat.
Di luar pihak tersebut, masih ada kemungkinan dimanipulasi. Dalam hal ini, hukum digunakan untuk melancarkan keserakahan manusia. Hukum dipakai untuk melegitimasi persekongkolan dan permufakatan jahat. Orang-orang dengan penampilan menarik dan berwajah lugu, menjadi terhukum karena jatah ilegal, persen proyek, atau menerima suap.
Kondisi ini mengingatkan pada satu tesa lama yang diungkapkan oleh Lambroso, kurang lebih setengah abad yang lalu. Secara sederhana, ia mengaitkan fisik manusia dengan kejahatan. Orang yang memiliki fisik tertentu, berkemungkinan melakukan kejahatan kepada orang lainnya.
Tesa ini dalam waktu yang lama diterima banyak pihak. Sehingga orang-orang yang mengetahui tesa ini, akan menjaga jarak dengan orang yang memiliki fisik seperti yang digambarkan.
Masalahnya kenyataan kemudian berubah. Kejahatan tidak selalu lahir dari orang berwajah sangar. Karena kejahatan dapat dilakukan oleh mereka yang berwajah mulus, tampan, atau cantik. Orang yang berparas lumayan, ternyata ada yang menjadi pengutil di pasar swalayan. Orang tampan, ternyata ada yang jadi pemerkosa. Kasus pembunuhan berlatar belakang asmara, membuat mata kita terbelalak, bahwa ternyata pembunuh rata-rata dilakukan oleh mereka yang memiliki fisik menawan. Berlawanan seperti yang pernah diyakini banyak orang.
Dari segi pendidikan dan pangkat, semua kejahatan juga bisa dilakukan oleh mereka yang berpendidikan, berpangkat, dan berekonomi tinggi. Pembunuhan tidak hanya dilakukan oleh mereka yang berpendidikan rendah. Kasus di tempat kita, karena dendam persaingan pacar, ada yang masih mahasiswa bisa membunuh temannya.
Jadi untuk masa sekarang, sudah mulai berubah pandangan orang. Makan uang haram tidak selalu berpotensi dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki uang –sehingga dalam banyak organisasi, orang miskin jarang dapat kepercayaan mengelola uang. Kenyataannya, orang berekonomi tinggi pun bisa melakukannya.
Gambaran di atas memperlihatkan betapa ternyata kejahatan itu juga semakin kompleks. Upaya untuk melakukan kejahatan dilakukan dengan memperbarui polanya sesuai dengan perkembangan antisipasi yang dilakukan oleh aparatur negara. Jelas, hukum hanya salah satu saja dari sekian banyak arena yang terkait dengan kejahatan.
Dengan kondisi ini, kita semua harus berbenah. Jika penjahat terus mengasah kemampuan diri dalam melakukan kejahatan, dan itu dibayangkan sebagai usaha meningkatkan kualitas, maka seyogianya kita juga mempersiapkan diri lebih baik. Untuk mengimbangi penjahat yang terus memperbaiki kualitas, maka kita pun harus meningkatkan kualitas dalam mengantisipasi kejahatan mereka. Jangan dibiarkan keadaan yang tidak imbang, dimana penjahat terus lebih maju, sedangkan kita tidak berusaha mencapai kualitas yang mampu mengantisipasi apa sedang dilakukan kaum penjahat. Kita pun harus meningkatkan kualitas kita.