Debat panjang sudah berlangsung, terkait bagaimana seseorang memandang hukum. Friedrich Karl von Savigny (lahir di Frankfurt, 21 Februari 1779; meninggal 1861), meyakini bahwa hukum bukan sesuatu yang dapat diciptakan secara sewenang-wenang dan terencana oleh pembuat hukum. Hukum adalah hasil dari proses yang bersifat internal dan otonom serta diam-diam (silently operating) dalam diri masyarakat (rakyat). Hukum layaknya seperti bahasa yang tumbuh dan berkembang dalam relasi kebangsaan dan menjadi milik bersama dan juga kesadaran bersama. Hukum didasarkan pada karakter kebangsaan dan jiwa kebangsaan bangsa yang bersangkutan (volkgeist) (Antonius Cahyadi & E. Fernando M. Manullang, 2008).
Menurut Saifullah (2008), pemikiran Savigny menegaskan bahwa hukum tidak dengan sengaja disusun oleh pembentuk hukum. Hukum ditemukan, tidak dibuat. Hukum tumbuh karena proses dan proses itu tidak disadari dan organis, sehingga perundang-undangan dianggap kurang penting bila dibandingkan dengan adat istiadat.
Savigny adalah pendiri mazhab hukum historis. Mazhab ini muncul sebagai reaksi atas Rasionalisme dan Aufklarung. Rasionalisme sendiri muncul dengan Revolusi Perancis tahun 1789, yang gagal dengan cara doktrinernya.
Berdasarkan aliran ini, pembuatan hukum oleh pembuat hukum dianggap sebagai proses penciptaan yang diposisikan sewenang-wenang. Proses ini berbeda dengan cara muncul dan tumbuh dengan sendirinya. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern, kesadaran hukum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, melainkan disajikan oleh para ahli hukum, yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis (Saifullah, 2008).
Aliran ini sendiri bukan tanpa penyanggah. Dalam perkembangan hukum, aliran yang satu akan diperdebatkan, dipertanyakan, dan dikoreksi oleh aliran yang lain. Sepanjang pembentukan konsep hukum, debat ini sudah berlangsung.
Debat panjang yang berlangsung antar aliran hukum, sesungguhnya menggambarkan bagaimana pendukung masing-masing memiliki pendapat yang seyogianya dipahami. Belajar memahami atas apa yang dipikirkan oleh orang lain, untuk kemudian membandingkan dengan apa yang kita pahami. Salah satu dari wujud mencoba memahami itu adalah atas apa yang disebut dengan hukum yang hidup. Hukum yang tidak tertulis.
Hukum tidak tertulis berbeda maksudnya dengan hukum yang tidak tercatat. Konsep tulis menggambarkan kondisi positivitisasi. Sementara pencatatan adalah suatu proses yang menjangkar, agar baik secara internal maupun eksternal lebih mudah memahaminya. Keadaan yang disebut terakhir, terutama terkait dengan perkembangan zaman yang berlangsung sangat gencar.
Dengan perkembangan zaman, pertanyaan “apakah hukum yang hidup itu masih ada”, tetap ada yang mempertanyakan. Pertanyaan semacam ini umumnya oleh mereka yang memahami hukum yang hidup terbatas pada hukum adat semata. Pemaknaan hukum adat sekalipun, sangat terkait dengan cara memandang hukum pada umumnya. Cara memandang semacam ini sudah diperdebatkan sejak akhir abad ke-20, ketika orang-orang Barat kesulitan untuk mencari makna yang tepat atas apa yang ditemukan dalam masyarakat yang mereka datangi. Maksud kedatangan mereka umumnya terkait dengan upaya penjajahan, yang target akhir antara lain penguasaan atas wilayah dan sumber daya alam.
Hukum yang hidup sendiri bisa lebih luas dari itu. Asal-muasal juga berlangsung begitu saja dalam masyarakat. Sesuatu yang muncul sebagai perilaku terbatas pada awalnya, lalu menjadi perilaku umum, kemudian mereka memandang itu baik, pelan-pelan perilaku yang demikian dianggap akan mewakili wajah mereka. Ketika perilaku demikian sangat kuat, maka untuk perilaku-perilaku yang berlawanan akan ditolak. Baik secara halus maupun dengan sanksi tertentu dalam kehidupan mereka. Proses ini yang membuat kesulitan ahli Barat untuk merumuskan pada awalnya? Sebelum akhirnya ditemukan terminologi hukum adat.
Hukum yang muncul demikian lahir dari masyarakat yang menggunakannya. Ketika disebut adat, maka yang terbayang banyak orang selalu kepada masyarakat yang masih berada dalam lingkungan tertentu. Terasing dan jauh dari hiruk-pikuk suasana kehidupan modern. Sebagian ada benarnya. Namun sebagian tidak demikian, karena dalam masyarakat yang sudah modern sekalipun, tidak lantas semua yang hidup itu dibuang.
Sedangkan untuk kawasan tertentu, masyarakat yang digambarkan terasing itu, kenyataannya masih ada. Jika kita mendatangi sejumlah daerah di negara kita, orang-orang yang memiliki cara hidup berbeda tetap ada. Cara hidup demikian bisa jadi ketika diukur dengan cara kita hidup, berbeda jauh sekali. Barangkali cara mereka hidup, jika menggunakan format cara kita hidup, sungguh berbeda.
Istilah terasing itu sendiri satu hal tersendiri. Apalagi ada sebutan lain yang jauh tidak adil, yakni terbelakang. Dua istilah ini sering dipakai sebagai bahasa kebijakan. Jika berangkat dari upaya mendekati mereka dengan usaha memahami, maka siapapun akan mendapatkan gambaran mengenai bagaimana sesungguhnya kehidupan.
Dengan memahami demikian, maka berbagai konsep yang ingin ditawarkan menyangkut bagaimana perbaikan kualitas kehidupan, akan mudah dilakukan. Konsep ini sendiri tetap berangkat tidak dengan menyederhanakan berbagai hal yang ada dan sebagai bagian dari kehidupan mereka.