Kesulitan akademik ini, saya temu dalam kata pendahuluan buku yang disunting Mr. Dr. Herman Slaats dan Prof. Dr. A. A. Trouwborst: Tiga Model Pendekatan Studi Hukum Adat, Suatu Laporan Penelitian. Tahun 1993, buku ini diterbtkan Syiah Kuala University Press dan Pusat Studi Hukum Adat dan Islam Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Buku yang penting dalam membantu cara pandang saya terhadap kajian adat ini. Kajian yang kadang-kadang begitu disederhanakan menurut berbagai kepentingan yang mengelilinginya.
Kesulitan akademik yang saya sebut di atas, diungkapkan Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ibrahim Hasan dan Dekan Fakultas Hukum, Gazali, S.H. kepada Prof. Dr. H. Moh. Koesnoe, S.H. yang tahun 1978 melaksanakan penelitian lapangan di Tanah Alas. Waktu itu, rektor dan dekan menyebut kesulitan-kesulitan yang dihadapi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dalam usaha memajukan bidang akademiknya berhubung isolasi baik geografis maupun hubungan ilmiah yang dialami. Perbincangan tentang kolaborasi dan membangun hubungan ilmiah, sudah berlangsung lama.
Dalam catatan di atas, tahun 1979, Rektor meminta Prof. Dr. Moh. Koesnoe untuk bersedia menjadi guru besar luar biasa di fakultas hukum. Salah satu tujuan penting adalah menyelesaikan kesulitan akademik dan hubungan ilmiah yang dialami. Dengan proses ini, penataran tentang hukum dan hukum adat memungkinkan berlangsung secara lebih luas. Para akademisi di Aceh mendapat bantuan dari akademisi lain di Indonesia dan Belanda. Kesadaran hubungan ilmiah akan memperkuat basis pengetahuan, sudah terjadi dan menguat pada masa itu. bahan-bahan pengetahuan terbaru tentang studi hukum dan antropologi hukum tersedia karena difasilitasi akademisi luar negeri yang datang ke negeri ini.
Sikap keterbukaan yang berlangsung, antara lain tidak hanya pada upaya menutup diri pada kepentingan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala saja. Waktu itu, Rektor dan Dekan meminta diperluas, agar fakultas hukum di bagian Barat (waktu itu meliputi Sumatra dan Kalimantan Barat), juga bisa ikut serta dalam penataran penting ini. Dengan pengalaman ini, Aceh memiliki catatan penting dari perkembangan kajian hukum adat di Indonesia.
Saya ingin mencatatnya dalam bentuk lain lebih dalam tentang tiga pendekatan yang diperkenalkan sejak saat itu. Apa yang dilakukan melalui hubungan ilmiah, tentu saja dengan peran Moh. Koesnoe, sangat penting bagi kampus. Saya kemudian menelusuri tentang Koesnoe ini, antara lain dipermudah dengan catatan yang dilakukan dengan bahasa anak muda, dalam satu buku yang diterbutkan Epistema Institute. Buku Mohammad Koesnoe dalam Pengembaraan Gagasan Hukum Indonesia, diterbitkan dalam rangka mengisi seri tokoh hukum di Indonesia.
Mengulas tokoh ini secara berbeda, walau ditulis oleh banyak penulis senior, tentu sangat penting dalam memperkenalkan tokoh dan pemikirannya. Buku ini disunting Joeni Arianto Kurniawan (Universitas Airlangga), dan ditulis antara lain Agni Udayati, Illy Yudiono, Joeni Arianto Kurniawan, M. Syamsudin, Mumu Muhajir, R. Michael Feener, Shidarta, dan Yamin.
Koesnoe berpengaruh penting dalam forum akademik internasional. Keadaan ini tentu saja konek dengan apa yang terjadi di Aceh ketika Rektor dan Dekan memintanya membantu Universitas Syiah Kuala. Koesnoe menjadi guru besar tamu di sejumlah universitas ternama di beberapa negara, seperti Belanda, Inggris, Perancis, Arab Saudi, Filipina, Amerika Serikat dan Australia. Mempromosikan hukum adat dilakukan sepanjang karier akademiknya. Keterbukaan terhadap hubungan ilmiah, menjadi catatan penting dari realitas penting ini.