Penataran Ilmu Pengetahuan Hukum dan Hukum Adat, dilaksanakan Pusat Studi Hukum Adat dan Hukum Islam di Universitas Syiah Kuala dalam lima gelombang: tahun 1980, 1982, 1984, 1985, dan 1990. Penataran ini sangat penting dan muncul sebagai tradisi baru akademik pada saat itu. peserta penataran ini hadir dari sejumlah kampus di Sumatra dan Kalimantan Barat. Saya membaca catatan ini dari buku yang disunting Mr. Dr. Herman Slaats dan Prof. Dr. A. A. Trouwborst: Tiga Model Pendekatan Studi Hukum Adat, Suatu Laporan Penelitian. Tahun 1993. Buku ini diterbtkan Syiah Kuala University Press dan Pusat Studi Hukum Adat dan Islam Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
Ada satu catatan penting dari pelaksanaan tersebut. Rektor Universitas Syiah Kuala, waktu itu dijabat Prof. Dr. Ibrahim Hasan –seorang akademisi yang kemudian dipercayakan sebagai Gubernur Aceh periode 1986-1993 dan Menteri Negara Urusan Pangan/Kepala Bulog. Posisi akademisi Ibrahim Hasan menurun deras pada salah satu anaknya, Dr. Ir. Mirza Irwansyah, MBA.,MLA, yang sekarang memimpin Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh. Mirza lahir di Banda Aceh, 1962, lalu menyelesaikan sarjana di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya (1986). Gelar magister diselesaikan dari Northrop University, Amerika Serikat dan the University of Pennsylvania. Pendidikan doktor dtempuh di University of South Australia, Adelaide (2003). Selain di ISBI, ia mengajar di Program Studi Arsitektur, Universitas Syiah Kuala.
Saya kira, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA memperlihatkan tekad pendidikan yang sama. Sejak sarjana sudah merantau. Memang sekolah dasar hingga menengah di kampungnya. Tapi sarjana ekonomi diselesaikan di Universitas Indonesia (1960). Saat orang-orang belum banyak yang mencari ilmu di berbagai tempat. Sedangkan magister dari University of Syracuse, Amerika Serikat (1962) dan pendidikan doktor dari University of Philipina (1979). Seorang ilmuan yang berpikir tentang daya jangkau dan pentingnya membuka daerah yang terisolir. Salah satu pemimpin Aceh yang berjasa dalam membangun apa yang disebut sebagai jalan jaring laba-laba –jalan yang menghubungkan masyarakat Aceh dari berbagai titik.
Sarjana ekonomi inilah yang menawarkan kepada Pusat Studi Hukum Adat dan Islam Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, agar tak hanya berhenti pada kegiatan penataran saja. Penataran akan menguap begitu saja, ketika acara sudah selesai. Tindak lanjut akademik –sebagai tradisi—ternyata sudah dipikirkan sejak saat itu. Ibrahim Hasan merasa pelatihan harus diikuti oleh pendampingan penelitian. Dalam realitas, pendampingan penelitian itu bisa terbagi dua. Pertama, penelitian sebagai tugas akhir kuliah –secara berjenjang baik magister maupun doktoral. Waktu itu, dosen yang bergelar doktor dan magister masih sedikit. Umumnya dosen masih bergelar sarjana. Kedua, pendampingan terhadap berbagai proyek riset yang dilaksanakan secara terbuka.
Dari pendampingan ini mulai lahir sejumlah riset tentang hukum adat di Aceh. Beberapa peninggalan produk riset yang bisa dibaca, tersedia di Pusat Studi Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Syiah Kuala. Tradisi mendalami untuk memahami masalah dan apa yang terjadi dengan melaksanakan berbagai riset, lambat laun menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan. Kebiasaan yang kemudian terbangun sebagai habit baru. Daya pikir semacam ini, tidak mampu dipikirkan oleh semua pemimpin. Mereka yang berdiri di depan para jejer akademisi, seyogianya memang tiada henti berpikir tentang solusi ilmiah. Membangun pola pikir ini memang tidak mudah.