Abuwa Subi, masih beraktivitas seperti biasa. Mengkuliti uleue (ular), meuruwa (biawak), sesekali buya (buaya) tamoeng. Kulit-kulit binatang ini kemudian dibawa pulang ke rumah, dibersihkan, dan dijemur seperti orang jemur kulet leumo (kulit lembu) dan kulet keubeue (kulit kerbau). Kalau kulet uleue untuk aksesoris manusia, sementara kulet keubeue untuk makanan. Bila kulet meuruwa untuk menghiasi lingkaran tubuh, sedang kulet leumo untuk mempercantik suara.
Kulet leumo sebenarnya enak untuk keureupuek, apalagi kalau dimasak langsung tumis coco. Kulet tak dijemur dulu. Tapi di Aceh, kulet leumo jarang dihidangkan sebagai makanan, karena ada tambo (beduk). Kulet leumo di Aceh lebih banyak dibuat tambo ketimbang dimakan. Ternyata, kebutuhan tambo jauh lebih penting dakam sebuah gampong karena suaranya sangat penting bagi kehidupan sosial-masyarakat. Konon, di Aceh orang meusie (bersembelih) binatang sangat jarang. Paling kalau meugang atau mauled. Jadi, kulet leumo memang sangat jarang. Apalagi kebanyakan gampong dan masyarakatnya lebih banyak menyukai sie keubeue ketimbang sie leumo. Nah, kulet keubeue jadi lebih disukai untuk makan sejenis keureupuk ketimbang kulet leumo.
Ada dua fenomena yang tampak dominan di sana, yakni; Pertama, orang-orang di Aceh lebih menyukai kulet keubeue ketimbang kulet leumo sebagai makanan (khas). Di samping karena jarang seumeusie, juga kebanyakan orang lebih menyukai sie keubeue.
Kedua, fenomena tambo yang tempat tabuhnya dibuat dari kulet leumo. Perhitungannya, tentu karena tambo berukuran besar, jadi butuh kulit yang besar pula. Kalaulah rapai, reubana, atau geundang, mungkin bisa dipakai kulet kameng (kulit kambing). Itu memang pas. Rapai lebih banyak kebutuhan. Kulet kameng pun mudah didapat ketimbang kulet leumo. Orang yang jualan sie kameng lebih banyak, apalagi gulai kambing di Aceh dikenal enak.
Sebagai benda yang besar, tambo melahirkan suara yang besar pula. Ada dua suara besar di Aceh dalam konteks sosial-budaya, yakni tambo dan su waki. Waki itu semacam juru bicara keusyik di gampong; ya semacam Andi Mallaranggeng-nya SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)-lah kalau sekarang. Yang dipilih memang sengaja yang besar suaranya. Itu sih dulu, waktu mikrofon belum dikenal di gampong-gampong. Sekarang sudah lebih mending; mikrofon malah bias menembus ratusan gampong.
Jadi waki memang memberitahukan orang gampong dengan bersuara keras; kalau ada orang yang meninggal, panggilan gotong royong, panggilan khanduri blang, khanduri gle atau khanduri laot. Ada satu jenis lagi tugas waki, seperti memberitahukan undangan khanduri tertentu, seperti intat linto baro.
Begitu juga tambo, yang biasanya terbuat dari batang pohon pandan yang diperhalus sedemikian rupa yang di ujungnya diikat kulet leumo yang sudah dikeringkan. Ada juga yang memakai drum minyak besar; tapi suaranya kurang begitu indah. Dengan suara tambo, orang gampong pun bisa memberi tanda yang macam-macam kepada seluruh gampong. Ada bunyi yang berbeda dan orang gampong akan mengerti sebagai pertanda sesuatu. Tambo ureung mate (memberitahukan orang meninggal) berbeda dengan tambo gotong royong. Tambo uroe raya, tambo puasa, tambo sahur, tambo buka, tambo khanduri (blang, gle, laot), dan sebagainya. Ureung gampong tak lagi harus bertanya-tanya saat mendengar tambo tiga kali lambat lalu sembilan kali beruntun, misalnya; karena itu sudah pasti orang yang meninggal.
Begitulah tambo dalam masyarakat Aceh, sehingga kulet leumo yang tak dimakan seperti keureupuek kulet keubeue, itu dianggap tak akan mendatangkan dosa (karena menyia-nyiakan makanan; mubazir) karena kegunaan tambo juga sangat bernilai ibadah. Kepuasaan kegunaan tambo juga akan bisa memaklumi akan ketidakinginan orang Aceh membuat kulet leumo sebagai gulai tumis toco atau dijemur untuk keureupuek.
Ada kegunaan masing-masing; ada pemaknaan masing-masing. Yang jelas, sama-sama bermanfaat. Masalahnya, manfaat itu akan segera hilang ketika ada orang yang menyebutkan lagee leumo kah? (Seperti lembu kamu!) atau, lagee keubeue kah! (seperti kerbau kamu!) asosiasinya tidak sama, dikatakan leumo bisa lebih menyakitkan ketimbang keubeue; walau leumo dan keubeue sama-sama binatang yang bisa dimakan.
Asosiasi juga akan berbeda ketika orang menyebut lagee kameng, uleu, muruwa, asee, bui, rimueng, atau peulandoek. Asosiasi yang akan membuat orang bangga, hanya disebut lagee peulandoek kah! Ya, hanya untuk peulandoek saja, selain itu tidak. Mengatai peulandoek, dipahami sebagai orang yang banyak akal. Sementara yang lain, konon kalau disebut di tempat umum pula, bisa beurabe.
Yang mau saya sampaikan, perumpaan itu akan melahirkan asosiasi yang berbeda-beda. Seorang tua yang ngomong seperti itu, berarti kadar kemarahannya terhadap anak sudah luar biasa tak bisa ditahan. Tapi bagaimana pun marahnya, orang tua tetap tak akan mengumpamakan perilaku anaknya dengan perumpamaan binatang-binatang yang haram dimakan.
Ada satu masalah yang akhir-akhir ini yang sangat menggelisahkan, di gampong Abuwa Subi. Binatang-binatang yang halal dimakan sudah raib dimakan ular. Uleue lhan di gampong sudah memakan satu persatu piaraan orang gampong. Kandang ayam selalu bobol, karena jerujinya hanya bambu belah yang dipakai. Kandang kambing tak cukup kecil untuk untuk menutup pintu bagi uleue lhan. Apalagi kandang lembu atau kerbau.
Hampir tiap malam, Abuwa Subi sudah stand by di rumah. “Ngapain saya keluar kalau tiap malam ada saja uleue di gampong yang bisa ditangkap karena melahap binatang orang gampong,” begitu pikirnya. Makanya ia sudah jarang keluar lagi.
Hasil yang didapat pun sudah lumayan. Kalau dulu pergi ke kantong-kantong uleue dan muruwa belum tentu dapat satu permalam. Sekarang malah rutin dapat, paling tidak, satu permalam. Abuwa Subi menikmati itu, maka ia tak pernah memberi resep jitu untuk orang gampong agar bisa menghalau uleue yang turun ke gampong.
Karena banyak hasil yang didapat, gampong pun jadi tambah berbau karena jemuran kulet uleue Abuwa Subi. Ia tak sempat membersihkan sampai daging betul-betul bersih dari kulit seperti yang dibawa pulang dulu. Bau tak sedap itu juga berasal dari tubuh uleue yang dipluek dan dibuang sembarang; umumnya dibuang saja ke sungai sehingga tersangkut di mana-mana.
Orang gampong sebenarnya sangat jengkel. Tapi karena mereka butuh bantuan jasa Abuwa Subi, jadi jengkel itu ditahan-tahan dalam perasaan. Uleue pun semakin berani membunuh mangsa. Biasanya, uleue itu melahap mangsanya dengan menelan bulat-bulat, seperti ayam, itik, kambing, dan sesekali anak kerbau atau anak lembu. Tak sehelai bulu pun tertinggal. Uleue itu menelan seluruhnya.
Sebenarnya Abuwa Subi bisa saja mengajarkan orang gampong membuat perangkat, biar binatangnya selamat. Tapi tak ia berikan. Jadinya, binatang orang gampong habis. Abuwa Subi teruntungkan dengan uleue yang didapat untuk diambil kulitnya; yang pula melahirkan bau tak sedap dari bangkai tubuhnya itu disembarang tempat.
Akhir-akhir ini, uleue yang turun gampong tak hanya menelan mangsanya. Tapi satu persatu mangsa-mangsa besar juga dililit sampai mati. Tak dimakan. Kerbau dan lembu, satu persatu menjadi bangkai karena dililit uleue. Abuwa Subi dapat untung, karena uleue yang ditangkapnya besar-besar rupanya. Gampong tambah berbau karena kalau sebelumnya hanya bangkai-bangkai uleue yang dipluek oleh Abuwa Subi, sekarang bertambah dengan bangkai keubeue dan leumo yang dililit sampai mati.
Kegelisahan di gampong Abuwa Subi kian menjadi-jadi saat keureupuek kulet keubeue dan tambo kulet leumo sudah langka di peredaran. Saat itu, ureung gampong menyebutkan Abuwa Subi, “lagee uleue!”