Saya bersyukur dilibatkan dalam sebuah tim kajian efektivitas dana gampong di Aceh. Opini ini sudah pernah dimuat di Serambi Indonesia. Mendalami terkait efektivitas dana gampong semacam ini sangat sulit dilakukan, jika hendak berorientasi pada representatif. Namun jika hanya ingin mendapat sejumlah hal untuk refleksi dan perbaikan, kajian dengan orientasi apapun sepertinya tidak masalah. Sebuah kajian bisa digunakan sebagai bahan refleksi bagi pengambil kebijakan. Berbagai hal yang telah ditentukan, bisa saja dalam perjalanan dievaluasi dengan memberi penetakan pada unsur tertentu yang dipandang masih lemah.
Dalam konteks dana gampong, sejumlah hal perlu mendapat perhatian. Harus disadari bahwa menyelesaikan pembangunan tidak hanya satu-satunya masalah anggaran. Konsep pembangunan tidak terbatas pada fisik, melainkan juga pembangunan nonfisik. Pembangunan fisik dengan mudah bisa diukur, tetapi pembangunan nonfisik, sulit sekali untuk melihat progresnya. Hal lain karena pemikir dan pelaksana pembangunan lebih menyukai yang fisik dibandingkan nonfisik. Pembangunan fisik dengan mudah dipertanggungjawabkan, tidak semudah seperti mempertanggungjawabkan program-program yang sifatnya nonfisik.
Saya ingin melihat konteks kajian tentang dana gampong secara lebih luas. Jangan hanya dilihat persoalan dana, lalu kita menutup mata berbagai perkembangan sosial lain yang ada dalam masyarakat.
Atas dasar itulah, mendapat kesempatan mengunjungi dan mewawancarai sejumlah gampong dalam kajian ini sangat membahagiakan saya. Kajian ini penting untuk mengetahui dan memahami kondisi lapangan terkait dengan penggunaan dana desa/gampong. Sebagai sebuah penelitian, kami mengambil lokasi di empat kabupaten, yang tidak usah saya sebut. Indikator empat kabupaten itu mewakili kabupaten yang dianggap miskin, kabupaten tertinggal, kabupaten yang dianggap berkembang, dan ibukota provinsi.
Dana gampong sebagai primadona
Gegap gempita dana gampong sudah berlangsung lima tahun. Berbeda dengan nasional, khusus di Aceh sesungguhnya ada sejumlah dana lain dari status otonomi khusus, yang sebagian diperuntukkan bagi gampong. Dana yang dimaksud tidak selalu berbentuk dana segar. Sebagian digelontorkan melalui berbagai program ekonomi dan pemberdayaan masyarakat.
Berbeda dengan dana gampong, yang proses penggunaan tetap melalui serangkaian perencanaan dan program. Walau dana itu diperuntukkan untuk gampong, tidak bisa serta merta gampong mengambil dan menyimpan dalam kas gampong. Berita Serambi (8/7, 6/7, 5/7, 3/7/ 28/6) mengambarkan banyak gampong yang tidak menarik dana, karena tidak mampu mempertanggungjawabkan dana sebelumnya, sekaligus memogramkan dan merencanakan penggunaan selanjutnya. Kondisi ini bisa menyedihkan, mengingat tujuan dana untuk mempercepat proses pembangunan berbasis pemerintahan paling bawah.
Walau dengan kondisi di atas, dana gampong pada dasarnya tetap menjadi primadona. Keberadaan dana gampong sudah mengubah banyak wajah, baik dalam konteks politik lokal, ekonomi, hukum, bahkan sosial keagamaan. Setidaknya, ada tiga hal yang terkait dengan primadona ini. Pertama, adanya dana gampong telah menarik minat kompetisi yang lebih besar dalam kontestasi pimpinan gampong. Tidak ada fenomena ini muncul sebelumnya, apalagi ketika masa konflik yang justru banyak keusyik mengundurkan diri. Sejumlah gampong yang masyarakat tidak memberi izin pengunduran diri keusyik, justru ada keusyik yang meninggalkan gampong karena tidak mampu menanggung beban.
Kedua, gampong telah menyebabkan ketergantungan secara ekonomi bagi wilayah yang di atasnya, sehingga berbagai kepentingan, akan diarahkan untuk memanfaatkan dana gampong. Berbagai kegiatan tingkat kecamatan –bahkan tingkat kabupaten, mulai diarahkan ke program gampong karena dianggap di sana tersedia dana yang cukup. Bukankah risiko ketika program yang muncul mendadak di luar program, berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari?
Ketiga, gampong, tentu berdasarkan faktor dana gampong, menjadi magnit baru yang mempengaruhi orang-orang kecamatan bahkan kabupaten/kota. Kehendah ingin menyukseskan berbagai program besar, namun minim anggaran, banyak pejabat yang sudah melihat gampong sebagai potensi untuk menggerakkan hal tersebut.
Menunggu dampak
Tiga hal di atas, jika ditelusuri lebih jauh, berpotensi memberikan dampak negatif, yang ujungnya akan menjadi beban bagi pimpinan gampong. Pertama, semua dana yang bersumber dari penganggaran negara, selalu membutuhkan proses perencanaan dan penggunaannya ditentukan oleh perencanaan tersebut. Orang-orang yang tidak patuh pada dokumen perencanaan, kelak akan menjadi masalah hukum yang harus diselesaikan. Persoalan ini tidak sederhana, karena pertanggungjawaban negara tidak akan hilang jejak sebelum diselesaikan.
Kedua, dalam konteks administrasi pembangunan, proses penggunaan dana apapun yang terkait dengan pembangunan, harus dilakukan secara tertib. Orang-orang yang mengeluarkan dana untuk kepentingan apapun, dengan mengabaikan tertib administrasi administrasi ini, juga akan menjadi temuan hukum. Jadi suatu saat nanti, orang korupsi itu belum tentu karena ia makan uang, namun karena penggunaan yang tidak tertib, sekaligus memberi keuntungan kepada pihak lain.
Ketiga, secara sosial kemasyarakatan, penggunaan dana gampong suatu saat akan menjadi sasaran pandang sinis dari masyarakat gampong. Ada gampong yang masyarakatnya tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh aparatur, namun mereka memiliki informasi penting yang disampaikan kepada pihak terkait. Ada juga pengakuan masyarakat, bahwa oknum pimpinan gampong ada yang berpikir penggunaan dana tidak perlu melibatkan masyarakat, dengan alasan hanya mereka saja yang akan mempertanggungjawabkan dana itu kelak. Mereka yang berpikir demikian, bahwa urusan dana, transparan atau tidak, bukan untuk masyarakatnya, melainkan untuk mereka yang akan memeriksa bila suatu saat muncul sebagai kasus.
Keempat, dampak hukum, yang tidak boleh dilupakan berbagai efek yang muncul, biasanya hanya akan diterima oleh para pimpinan gampong saja. Orang-orang yang terjerat kasus hukum terkait penggunaan dana gampong, lebih luas tidak akan ditelusuri apakah yang bersangkutan tidak tertib administrasi atau melakukan tilep uang. Semua orang yang bermasalah dengan hukum, akan mendapat posisi negatif sepanjang waktu dalam masyarakat. Orang-orang yang tersandung masalah penggunaan dana, terlepas benar menilep atau hanya sekedar ketidakmampuan tertib administrasi, tetap akan dipandang sebagai pencoleng.
Keempat dampak ini bukan sesuatu yang masih bayang-bayang. Realitas ini sudah dekat dengan kehidupan kita. Sudah mulai ada tokoh kampung yang harus mendekam di penjara karena dana gampong. Saya berharap, sebelum semuanya terlambat, proses menguatkan kapasitas pimpinan gampong harus dilakukan oleh banyak pihak.