Orang bisa memberi pendapat berbeda di dua posisi dan kepentingan yang berbeda. Untuk kepentingan tertentu, pendapat bisa berbeda dengan kepentingan yang lain, dalam sejumlah hal. Apalagi orang yang sangat tegas menjaga kepentingannya. Ketika kepentingan yang dijaganya terganggu, maka suara berbeda pun tidak masalah diberikan.
Kepentingan yang dimaksud, bisa saja terganggu ruang politik, posisi dan jabatan, maupun tumpuan ekonomi. Bahkan lebih jauh, ketika disederhanakan kepentingan itu hanya berputar pada target perut dan yang di bawah perut.
Hal yang demikian sering terlihat. Orang yang kita kagumi, tiba-tiba berpendapat berbeda sekali. Setelah kita telusuri, ternyata ada hal lain yang melatarbelakangi. Dalam hidup, proses dan kalkulasi berlangsung terus-menerus. Ketepatan menggunakan kalkulasi itu akan menentukan seseorang berhasil menjalankannya dengan baik atau tidak.
Begitulah perhatian, ketika dibicarakan selalu dilandasari kepentingannya. Saya memiliki pengalaman. Tidak terduga, suatu pagi, ketika mau ngopi di kedai sudut tikungan, seseorang memanggil saya. Seorang teman yang punya jabatan, yang ternyata sedang duduk sendiri di satu meja. Karena tidak ada orang lain yang ditunggu, saya memutuskan duduk semeja dengan beliau. Tidak ada yang istimewa dengan duduk satu, berdua, atau bertiga di kedai ini. Biasanya orang-orang yang hanya ingin menikmati kopi dan bukan untuk ngobrol panjang lebar, di sinilah tempatnya.
Ketika sudah berhadapan dengan mejanya, sebelum pas posisi duduk saya, ia menunjukkan satu berita kota. Ada pendemo yang mengatakan pejabat kota sedang tidak becus. Menurutnya, itu tuduhan yang sangat tidak adil.
Mendengar kata adil itulah, saya menjadi berfikir lagi tentang apa itu adil, sesungguhnya? Saya tidak ingin melanjutkan adil atau tidaknya konteks demo dan pejabat kota.
Menarik untuk melihat posisi. Orang yang sama, bisa melihat adil dalam posisi yang berbeda-beda. Orang-orang yang dirugikan kadang-kadang melihat adil itu hanya sebatas pada kepentingan kerugian dia saja. Mereka yang terzalimi dengan kebijakan, mungkin yang tidak adil hanya karena kebetulan mendapat kebijakan yang tidak menguntungkan untuk dirinya.
Pertanyaannya adalah kapan dan bagaimana kita baiknya ngomong keadilan? Apakah ketika kita sedang mendapat masalah atau pada posisi kita sedang dalam posisi nyaman?
Idealnya, kita ngomong keadilan adalah pada posisi kita sedang tidak terjepit. Seseorang harus melakukan refleksi keadilan terhadap orang lain itu, ketika ia sedang berada di puncak kenyamanan. Dalam konteks dan relasi kekuasaan, mungkin ketika seseorang sedang mendapat kuasa, saat itulah berbicara dan menanyakan keadilan kepada siapa yang seharusnya diberikan.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata “adil” itu setidaknya memiliki tiga maksud. Pertama, sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak. Salah satu yang dicontohkan dalam hal ini adalah keputusan hakim. Kedua, berpihak kepada yang benar, berpegang kepada kebenaran. Ketiga, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Pengadilan dan peradilan, terbangun dari kata dasar “adil” ini.
Dengan konsep demikian, maka tiga konteks dapat disederhanakan menjadi: tidak berpihak, berpihak pada yang benar, dan tidak sewenang-wenang. Tidak berpihak itu pada ukuran, berpihak pada yang benar itu mengenai sikap, dan tidak sewenang-wenang itu sebagai tindakan. Lebih sederhana lagi: pikir, kabar, dan perilaku. Dengan tiga kata kunci ini, jelaslah bahwa sulit sekali mengukur keadilan itu?
Seorang ahli psikologi sosial, menyebut keadilan bukan sesuatu yang harus diukur. Keadilan merupakan sesuatu yang hanya bisa dirasakan. Maka tidak jarang, kata tidak adil itu tidak hanya keluar dari mereka yang makan hanya sekali atau dua kali saja dalam sehari. Kata-kata adil juga bisa keluar dari mereka yang setiap hari berdiam di ruang sejuk dengan belasan pelayan.