Luba

KAMI, teman-teman sepermainan, ketika masih kecil-kecil –sekitar lima atau enam tahun, sering mengatakan luba untuk teman yang rakus. Alat ukur rakus atau tidak adalah pada kesediaan berbagi. Pada waktu kami kecil, kelompok kami ada sembilan …

KAMI, teman-teman sepermainan, ketika masih kecil-kecil –sekitar lima atau enam tahun, sering mengatakan luba untuk teman yang rakus. Alat ukur rakus atau tidak adalah pada kesediaan berbagi.

Pada waktu kami kecil, kelompok kami ada sembilan orang. Dalam jumlah tersebut, hanya ada satu orang saja yang kondisi ekonominya lumayan. Sementara yang lainnya tidak. Alat ukur lumayannya kondisi ekonomi adalah ada uang di kantong.

Ada penjual makanan yang masuk kampung –walau tidak seramai sekarang. Kami yang tidak memiliki uang, hanya menonton. Bila sewaktu-waktu tukang es gogo masuk kampung, kami berdiri di samping gerobak dan berharap potongan es yang dijual itu ada sedikit sisa. Dengan demikian, kami yang tidak punya uang bisa mencicipi masing-masing dengan sekali jilat. Benar, hanya sekali jilat.

Biasanya, sepotong es, ketika dipotong-potong akan meninggalkan sedikit sisa dan sisa itu tidak mungkin dijual. Bila tidak ada kami yang mengelilingi gerobak, potongan itu akan dibuang sama tukang es. Apa yang kami rasakan, sebenarnya adalah sesuatu yang seharusnya dibuang.

Kondisi itulah untuk menggambarkan kami yang tidak memiliki uang di kantong. Sementara satu anak yang di kantongnya selalu memiliki uang, ayahnya seorang muge. Nama anak itu Ismail (kami memanggilnya dengan Ih, dan bukan Mae).

Pokoknya Ih selalu memiliki uang, walaupun jumlahnya hanya Rp25. Waktu itu, sepotong es gogo bisa didapat dengan Rp5. Dan setiap tukang es gogo masuk kampung, ia tak pernah absen membelinya.

Setelah ia membeli sepotong, ia jilat sendiri dulu sekali putaran. Kemudian baru kami sebagai teman-temannya bergiliran menjilat es gogonya. Setelah semua menjilat, Si Ih selalu menanyakan apa semuanya sudah menjilat. Ia tak mau ada teman-temannya yang tidak merasakan sebuah jilatan –dengan begitu tidak merasakan nikmatnya rasa es gogo.

Pada saat yang sama, kami selaku teman-temannya, memegang teguh kepercayaan dan kesempatan. Tidak ada istilah mumpung. Ketika kami menjilat, semua kami hanya menjilat sekali, tidak lebih. Tidak ada yang menjilat sampai dua atau tiga kali.

Kami diberi kesempatan untuk menjilat sekali adalah kepercayaan yang kami harus jaga. Maka walau tak dilihat pun, kami hanya akan menjilat sekali saja. Kepercayaan ini yang kami pegang, karena prinsip kami, masih ada teman kami yang lain yang juga harus mendapat kesempatan menjilatnya.

Nah, suatu kali satu teman kami mempergunakan kesempatan itu untuk menjilat lebih dari satu kali. Untuk teman ini, tidak ada pemutusan hubungan pertemanan. Juga untuk kesempatan yang lain, bila si Ih beli es gogo, teman ini juga masih diberi kesempatan untuk menjilatnya.

Ada satu yang berbeda, bahwa sejak itu, satu teman itu sudah terkena stempel luba. Kata-kata luba itu, bukan diberikan oleh Ih selaku pemilik es gogo. Sebutan itu, kami yang berikan. Barangkali pemilik es gogo tak ambil pusing dengan sekali atau sepuluh kali jilatan. Namun percayalah, di luar penjilat, ada penunggu yang masih menunggu kesempatan untuk menjilat.

Luba menjadi sebutan yang menakutkan, bagi kami waktu itu. Kata-kata yang dekat dengan loba, rakus, tamak, dan semacamnya, tentu sangat menakutkan. Apa yang sudah diberikan, sangat sulit untuk melepas label itu sampai tua. Pada satu teman kami itu, menjadi bukti bagaimana label ini ternyata sangat berefek jangka panjang.

Kini, setelah masa kanak-kanak kami berlalu, perputaran waktu terasa seperti begitu cepat. Ketika kami bertemu dengan sesama teman kanak yang kini sudah tumbuh menjadi dewasa, banyak hal yang sudah berubah. Perubahan yang kentara adalah fisik: sudah tumbuh jengkot lebat, kumis panjang, dan sebagainya. Dari segi penampilan, ada yang sudah rapi, juga masih ada yang begitu-begitu saja. Yang pahit adalah masih adanya di antara kami yang luba-luba, dalam bentuknya yang baru.

Ketika melihat begitu banyak perubahan, ada perasaan bahagia. Banyak perubahan yang bisa dilihat dengan mata. Namun lambat laun, ketika mengetahui ternyata ada teman kita yang semakin rakus, semakin tamak, itu sangat menyedihkan.

Orang yang rakus, sering mengatakan orang lain tamak. Percayalah, orang yang sering ngomong rakus bisa jadi lebih rakus. Sangat menyedihkan, rakus itu bergeser ke tempat-tempat mulia.

Rakus berhadapan dengan rumah. Ketika di kantor ada rumah dinas, maka semuanya harus untuk kita. Rumah dinas bukan hanya untuk urusan dinas, tapi seringkali sampai diwariskan untuk anak cucu.

Ketika ada rumah bantuan, hanya rakus yang bisa menggoyahkan pengakuan bahwa orang yang bukan korban pun bisa bersumpah sebagai korban.

Dalam kegiatan-kegiatan diskusi atau pembagian jatah hidup, perilaku tamak itu bisa dilihat saat pembangunan perdiem atau uang transportasi.

Dalam hal yang kecil-kecil saja sudah sangat tampak, bagaimana profil tamak sudah berubah dengan cepat. Apalagi dalam kasus-kasus yang besar. Perebutan proyek, perebutan kursi, sampai perebutan-perebutan yang lainnya.

Sangat menyedihkan saya, ketika suatu kali kami yang saling kenal waktu kecil dulu, temu kangen. Kami sudah tidak takut lagi dengan peringatan sesama kami dulu: manusia sangat suka dengan tambah-tambah dan berkali-kali, tetapi giliran berbagi-bagi, tunggu dulu!

Leave a Comment